Laman

Kamis, Maret 31, 2011

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (2)


MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (2)
oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
pada 08 Maret 2011 jam 14:42.

Bersihkan 'Rumah' Ma'rifatullah


Pengenalan terhadap Allah yang sejati tidak akan berhasil digapai dengan sempurna kecuali dengan membersihkan tempat dimana ma'rifatullah itu bersemayam, yaitu di dalam hati manusia. Oleh sebab itu, hendaknya yang paling pertama diperhatikan oleh seorang hamba tatkala ingin bisa merasakan kelezatan ubudiyah dan ma'rifat kepada-Nya adalah mengenali seluk-beluk hatinya.


Bukankah, orang yang selamat di akherat kelak adalah yang hatinya selamat dari kotoran syirik, kekafiran dan kebid'ahan? Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu'ara': 88-89).


Tentang akibat berbuat syirik, Allah ta'ala telah menegaskan (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih berkenan mengampuni dosa-dosa lain di bawahnya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa': 48). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka benar-benar Allah telah haramkan atasnya surga, dan tempat kembali baginya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. al-Ma'idah: 72)


Tentang akibat kekafiran, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya semua orang pasti merugi kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3). Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir, yaitu kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) serta orang-orang musyrik itu akan menempati neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. al-Bayyinah: 6). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akherat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85)


Tentang akibat kebid'ahan, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai Muhammad): Maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dunia sementara mereka mengira telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka pasti tertolak.” (HR. Muslim).


Oleh sebab itu, Allah memberikan syarat bagi siapa pun yang ingin berjumpa dengan-Nya kelak untuk konsisten dengan amal salih yang dituntunkan oleh rasul dan mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah semata, tidak ada setitik pun bagian untuk selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia mengerjakan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Ini berarti, kelezatan ma'rifatullah tidak akan bisa diraih oleh hati yang mengabdi kepada selain Allah, ataupun hati yang terracuni oleh kerancuan pemahaman (baca: syubhat) yang membuat berbagai bentuk bid'ah merasuki dan mengalir di sekujur tubuhnya.


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Suatu tempat akan bisa menampung apa yang diisikan kepadanya tatkala terpenuhi syaratnya yaitu harus bersih dari lawannya. Hal ini, sebagaimana berlaku terhadap benda dan barang-barang, demikian pula ia berlaku dalam hal keyakinan dan keinginan. Apabila hati telah penuh terisi dengan kebatilan, berupa keyakinan ataupun rasa cinta, maka itu artinya tidak tersisa lagi di dalamnya ruang untuk keyakinan terhadap kebenaran dan kecintaan terhadapnya. Seperti halnya lisan, apabila telah disibukkan dengan pembicaraan mengenai hal-hal yang tidak berguna niscaya pemiliknya tidak sanggup lagi untuk berbicara tentang hal-hal yang berguna bagi dirinya, kecuali apabila lisannya berhenti mengutarakan kebatilan. Demikian juga anggota badan apabila disibukkan dengan selain ketaatan, maka tidak mungkin untuk menyibukkannya dengan perbuatan taat kecuali apabila telah berhenti dari lawannya. Begitu pula hati yang telah disibukkan dengan kecintaan kepada selain Allah, keinginan terhadapnya, rindu dan merasa tentram dengannya, maka tidak akan mungkin baginya untuk disibukkan dengan kecintaan kepada Allah, keinginan, rasa cinta dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya kecuali dengan mengosongkan hati tersebut dari ketergantungan terhadap selain-Nya. Lisan juga tidak akan mungkin digerakkan untuk mengingat-Nya dan anggota badan pun tidak akan bisa tunduk berkhidmat kepada-Nya kecuali apabila ia dibersihkan dari mengingat dan berkhidmat kepada selain-Nya. Apabila hati telah terpenuhi dengan kesibukan dengan makhluk atau ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat maka tidak akan tersisa lagi padanya ruang untuk menyibukkan diri dengan Allah serta mengenal nama-nama, sifat-sifat dan hukum-hukum-Nya...” (al-Fawa'id, hal. 31-32)


Oleh sebab itu, amat sangat wajar, apabila penekanan dakwah Islam pada awal mula perjalanannya adalah memprioritaskan pembenahan aqidah yang tertanam di dalam hati-hati manusia. Dengan aqidah yang benar, maka seorang hamba akan bisa mengenal Rabbnya dengan semestinya. Bahkan inilah inti dakwah segenap nabi dan rasul. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul -yang mengajak-; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Maka amat sangat mengherankan dan aneh apabila ada sebagian da'i atau aktifis Islam yang mengabaikan pembenahan aqidah -dengan alasan maslahat dakwah- dan lebih mendahulukan persoalan siyasah/politik .... Subhanallah!

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH


MENGGAPAI MA'RIFATULLAH


oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
pada 08 Maret 2011 jam 4:34.


Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Dan kita juga senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan hawa nafsu dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, niscaya tidak ada yang dapat menunjukinya.


Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Aku pun bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang telah diutus oleh Allah dengan membawa petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal salih) untuk dimenangkan atas seluruh agama. Semoga salawat dan keselamatan senantiasa tercurah kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka hingga hari kiamat tiba.


Amma ba'du.


Sesungguhnya ma'rifatullah (pengenalan terhadap Allah) telah menjadi 'barang' yang sangat langka pada masa kita sekarang ini. Banyak orang yang telah lalai darinya. Para pemuja dunia, pengejar tahta, pemburu wanita, pencari suara, bahkan tidak sedikit orang-orang yang 'berselimutkan' simbol-simbol agama sekalipun yang telah lupa terhadapnya.


Pengenalan terhadap Allah yang sejati laksana mutiara yang tersembunyi di dasar lautan atau emas yang terpendam di perut bumi. Begitu banyak orang yang mendambakannya, akan tetapi amat sedikit orang yang berhasil menggapainya.


Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.” (QS. Fathir: 28)


Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Ini artinya, setiap orang yang semakin berilmu tentang Allah niscaya dialah orang yang lebih banyak takut kepada-Nya. Sementara rasa takutnya kepada Allah itu pasti akan memunculkan sikap menahan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan serta bersiap-siap untuk berjumpa dengan sosok yang ditakutinya (Allah). Ini merupakan dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu, karena ia merupakan pendorong menuju rasa takut kepada Allah. Orang-orang yang senantiasa merasa takut kepada-Nya, itulah yang akan meraih kemuliaan dari-Nya...” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 756)


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “...Ibnu Mas'ud pernah mengatakan, 'Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti keilmuan.' Kurangnya rasa takut kepada Allah itu muncul akibat kurangnya pengenalan/ma'rifah yang dimiliki seorang hamba kepada-Nya. Oleh sebab itu, orang yang paling mengenal Allah ialah yang paling takut kepada Allah di antara mereka. Barangsiapa yang mengenal Allah, niscaya akan menebal rasa malu kepada-Nya, semakin dalam rasa takut kepada-Nya, dan semakin kuat cinta kepada-Nya. Semakin pengenalan itu bertambah, maka semakin bertambah pula rasa malu, takut dan cinta tersebut....” (Thariq al-Hijratain, dinukil dari adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/97])


Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pengenalan kepada Allah yang sejati pasti membuahkan rasa takut kepada-Nya. Sementara rasa takut itu sendiri yang akan mendorong seorang hamba untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap orang yang merasa takut kepada-Nya, lantas menunaikan ketaatan kepada-Nya yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka dialah sesungguhnya orang yang alim/berilmu.” (adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/98])


Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada asy-Sya'bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab, “Kami ini bukan ulama. Sebenarnya orang yang alim itu adalah orang yang senantiasa merasa takut kepada Allah.” (dinukil dari adh-Dhau' al-Munir 'ala at-Tafsir [5/98])


Oleh sebab itulah, saudaraku -semoga Allah menuntunku dan dirimu di atas jalan yang lurus- kita dapati bahwa generasi pendahulu umat ini (salafus shalih) adalah sosok-sosok manusia yang diliputi dengan rasa takut yang amat dalam kepada Allah. Sebuah perasaan takut yang tidak pernah terbayang dan terlintas di pikiran banyak orang. Tidakkah kita ingat, perkataan Ibnu Abi Mulaikah -salah seorang tabi'in- yang mengisahkan, “Aku telah bertemu dengan tiga puluhan orang Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan mereka semua merasa sangat takut kalau-kalau dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu'allaq)


Demikian pula, apa yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Sebagian mereka -ulama salaf- pernah berkata; Seandainya aku bisa mengetahui bahwa diriku telah terbebas dari kemunafikan, niscaya hal itu lebih aku sukai daripada [seisi bumi ini] yang terbit di atasnya matahari.” (al-Khauf, haqiqatuhu wa bayanu darajatihi, hal. 16)


Bersambung, insya Allah