Laman

Rabu, Juni 16, 2010

~ Pantai Depok Yogjakarta ~


Pantai Depok yang terletak tidak berapa jauh.....setelah Mundzir penat bermain di Kids Fun....kami berhenti solat di sebuah masjid di tepi jalan lantas ke Pantai Depok....


Cuaca hari itu mendung dan berangin kencang.....laut nya bergelora.....tidak dibenarkan berenang di sana kerna arus yang deras......

Nelayan pulang dengan tangkapan pada hari itu.....diikuti oleh tetamu pantai sore itu....hanya tangkapan yang sedikit.....lantas dibawa ke pasar.....dimana kita memilih untuk dimasak oleh gerai pilihan kita.....Pak Iryanto yang memandu kami sewaktu kami bersafar ke sana.....yang menyarankan gerai untuk dimasak ikan-ikan yang telah dipilih oleh Abu Irfan.....





Berbagai jenis ikan dan hidupan laut lain.....siput.....sotong.....semuanya ada....harganya harus pandai menawar.....yang penting segar.....Abu Irfan yang memilihnya kerna beliau yang selalu ke pasar......setelah menawar dan mendapat ikan yang segar......ikan itu diberi pada gerai yang memasakkannya......dijual juggak gorengan laut yang lain....perlu kesabaran menunggu ikan dimasak kerna tetamu agak ramai.....







Setelah menunggu lama....apabila disaji kami menjamu selera....waktu makan datang tiada siapa yang teringat untuk menggambil foto kerna melihat ikan yang dibakar menyelerakan......selesai makan.....Mundzir bermain layang-layang......
 
 

ya bunayya....mundzir


Cuaca nya redup dan angin kencang sekali......suasana penuh dengan suara anak2 bermain.....sewaktu kami di sana....kiranya ada konsert tajaan motor.....maka anak2 kampong memanjat ke atas bumbung rumah....untuk melihat dengan lebih jelas.....VIP seats.....dengan asyiknya mereka duduk diatas bumbung rumah.......





Selasa, Juni 15, 2010

Aku Merasa Aneh dengan Cadar

Aku Merasa Aneh dengan Cadar


Jumat, 04 September 2009 03:00
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam - Muslimah
foto Putri Kecilku.. Mujahiddahku...Ummu Hanin نن رشئد

Inilah yang belum dipahami oleh sebagian orang. Mereka merasa aneh dengan orang yang memakai cadar. Mungkin mereka belum tahu bahwa memakai cadar juga termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah mustahab (dianjurkan).




Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita,

لاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبِسُ الْقَفَّازِيْنَ



“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ –yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, ”Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”


Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin (Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah :


Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, ”Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut.” (HR. Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim : hadits ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)


Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, ”Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Abdur Rozaq. Semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Ibnu Juraij yang sering mentadlis dan dia meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ‘an/dari)


Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, ”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)


Juga hal ini dipraktekan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut.


Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, ”Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ’Semoga Allah merahmati engkau. …’ “ (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad hadits ini shohih)


Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengenakannya bahkan hal ini juga dilakukan oleh wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka.


(Lihat penjelasan ini di kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, 104-109, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah, Media Hidayah’)


Lalu bagaimana hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib atau mustahab (dianjurkan)?


Berikut kami akan sedikit menyinggung mengenai hal tersebut.


Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا


“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.


Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا


“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.


Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan).


Rujukan:


Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 14


Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah’
***


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel http://rumaysho.com

"Anakku, Inilah Salah Satu Bekalmu Kelak di Jalan Dakwah

"Anakku, Inilah Salah Satu Bekalmu Kelak di Jalan Dakwah."Bagikan. Hari ini jam 9:20


Anakku, di usiamu yang menjelang delapan belas tahun ini, dirimu yang dulu manja dan terkadang suka menangis di balik bantal di minggu-minggu pertamamu di ma'had, kini telah menjelma menjadi seorang pemuda. Semoga ilmu yang sudah kau dapatkan selama ini (dan insya Allah masih akan kau dapatkan lebih banyak lagi), kelak bisa memberikan manfaat kepada dirimu sendiri, untuk kedua orang tuamu, untuk adik-adikmu, dan untuk seluruh kaum muslimin. Semoga dirimu bisa menjadi perwujudan do'a yang senantiasa dipanjatkan oleh kedua orang tuamu:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

""Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Furqaan: 74)

Anakku, izinkan ayahmu yang miskin ilmu ini menyampaikankan sepercik nasihat yang sangat berharga untuk dirimu, sebagai salah satu bekalmu kelak di jalan dakwah, sebuah nasihat yang aku salin dari sebuah kitab yang berjudul Al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah), karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al-Atsari, dari bab yang berjudul: SYARAT DAN KAIDAH BERDAKWAH KEPADA 'AQIDAH SALAFUSH SHALIH AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al-Atsari mengatakan:

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada ‘aqidah Salafush Shalih tidak akan terealisasi kecuali dengan tiga syarat:

Pertama: ‘Aqidah yang benar.

Selamat ‘aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita ber’aqidah sebagaimana ‘aqidah Salaf tentang Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ wa Shifat, serta semua yang berkaitan dengan masalah ‘aqidah dan keimanan.

Kedua: Manhaj yang benar.

Yaitu memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan ulama Salaf.

Ketiga: Pengamalan yang benar.

Seorang yang berdakwah, mengajak ummat kepada Islam yang benar, maka ia harus beramal dengan benar, yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan ittiba’ (mengikuti) contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengadakan bid’ah baik dalam i’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.

Sesungguhnya dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan amal yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi serta merupakan kekhususan dari para utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tugas dari para wali (Allah) dan orang-orang shalih yang paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (Al-Fushshilat: 33)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita mengemban dakwah ini kepada manusia dan bagaimana metode menyampaikannya. Di dalam sejarah peri kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak pelajaran yang dapat kita ambil bagi orang yang menghendakinya.

Maka wajiblah bagi para juru dakwah dalam menyerukan ‘aqidah Salaf agar mengikuti manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi bahwa di dalam manhaj beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat keterangan dan penjelasan yang benar tentang uslub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak membutuhkan lagi metode-metode bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian manusia, yang menyelisihi manhaj dan peri kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, wajib bagi para juru dakwah untuk menyeru ke jalan Allah Ta’ala seperti yang telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.

Berangkat dari pemahaman yang benar ini, maka saya berusaha untuk menyebutkan sebagian kaidah dan landasan bagi para juru dakwah; dengan harapan semoga hal ini bermanfaat dalam perbaikan ummat yang kita idamkan:

Kaidah dan Landasan Para Juru Dakwah

1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. “Sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui jalan kamu, hal itu lebih baik bagimu daripada unta yang merah (pilihan).” (Muttafaq ‘alaihi, pent). Pahala akan diperoleh hanya dengan sekedar berdakwah dan tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru dakwah tidak dituntut untuk merealisasikan kemenangan Islam karena hal ini adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru dakwah dituntut untuk mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.

Bagi juru dakwah mempersiapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah merupakan janji. Sedang dakwah merupakan satu bentuk dari jihad, terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.

2. Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush Shalih yang tertuang dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang terkenal dengan wasathiyah (pertengahan), syumuliyah (universalitas), i’tidal (moderat), jauh dari ifrath (berlebihan) dan tafrith (melalaikan).

Landasannya adalah ilmu syar’i yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran –dengan anugerah dari Allah- dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat untuk berjalan di atas jalan para Nabi.

3. Berupaya untuk mewujudkan jama’atul Muslimin dan menyatukan kalimat mereka di atas kebenaran, yang bersumber dari manhaj yang menyatakan: “Kalimatut tauhid (Laa ilaaha Illallaah) merupakan pokok untuk menyatukan barisan.” Dengan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat memecah-belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini seperti tahazzub (membuat partai-partai) yang tercela, yang mencerai-beraikan barisan kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati mereka.

Pemahaman yang benar bagi setiap jama’ah dakwah kepada Allah adalah: Satu jama’ah dari kaum Muslimin tidak dapat disebut jama’ah kaum Muslimin.

4. Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh; karena kebenaran akan kekal sedangkan para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu niscaya kamu akan mengenal penganutnya (siapa yang mengikuti kebenaran itu).

5. Menyeru untuk saling tolong menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu yang dapat mewujudkannya. Menjauhi khilaf (perselisihan) dan dari segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Hendaknya satu sama lain harus saling tolong menolong dan nasihat menasihati dalam hal yang kita perselisihkan selama hal tersebutdalam masalah khilafiyah dengan tanpa saling membenci.

Prinsip yang harus ditegakkan di antara kelompok-kelompok Islam adalah: Saling bekerja sama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, maka hendaknya saling hidup damai berdampingan; kalau itu pun tidak, maka yang keempat adalah kebinasaan.

6. Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tafrith.

7. Perselisihan dalam masalah furu’ (cabang-cabang) syari’ah menuntut sikap lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.

8. Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu, dan evaluasi yang berkesinambungan.

9. Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam dasar-dasar diskusi dan menyatakan bahwa kedua-duanya adalah penting dan seharusnya dimiliki sarananya.

10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini serta (berhati-hati dari) tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi. Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan manka-makna (yang tersirat) bukan yang tersurat.

11. Membedakan antara tujuan dan sarana; misalkan dakwah adalah tujuan, sedangkan pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center) dan lain-lain merupakan sarana.

12. Teguh dalam tujuan dan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai yang dibolehkan oleh syari’at.

13. Memperhatikan masalah prioritas dan menyususn segala sesuatu secara berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu yang sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang tepat.

14. Tukar menukar pengalaman di antara para juru dakwah adalah hal yang penting dan membangun di atas pengalaman orang yang mendahului. Seorang juru dakwah hendaknya jangan memulai dari kosong (nol). Bukanlah dia orang pertama yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga bukan orang yang terakhir. Karena sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak perlu nasihat dan petunjuk; atau tidak akan ada orang yang memonopoli seluruh kebenaran dan sebaliknya.

15. Menghormati para ulama ummat yang dikenal dengan konsistennya terhadap as-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya, menghormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya, tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatic kepadanya dan tidak menuduh mereka. Karena setiap orang alim ada benar dan ada salahnya. Kesalahan dari orang alim tersebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan kedudukannya selama dia seorang mujtahid.

16. Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada pengertian yang terbaik serta menutup cacat mereka, tanpa melalaikan untuk memberikan keterangan kepada orang yang bersangkutan.

17. Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka tidak disebut kejelekannya kecuali kalau ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, maka kebaikannya tidak disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi orang awam.

18. Menggunakan kata-kata yang syar’i karena lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata asing dan pelik seperti: musyawarah bukan demokrasi.

19. Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih: bahwa ia merupakan kekayaan fiqih yang agung, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil manfaat darinya dan tidak fanatic serta tidak menolanya secara keseluruhan. Kita hendaknya menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

20. Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia barat dan peradabannya, yaitu mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka sesuai dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.

21. Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqaih musyawarah.

22. Suri teladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahnya.

23. Mengikuti metode hikmah dan nasihat yang baik serta menjadikan firman Allah:p
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (An-Nahl: 125)

Sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah untuk diikuti.

24. Berhias diri dengan kesabaran, karena ini merupakan sifat para Nabi dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.

25. Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-hati dari penyakit tasyaddud dan hasilnya yang negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut dalam batas-batas yang dibolehkan oleh syari’at.

26. Seorang Muslim selalu mencari kebenaran; dan keberanian dalam mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah untuk mengatakan yang benar maka janganlah mengatakan yang bathil.

27. Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.

28. Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan (dari) menyebarluaskannya serta hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.

29. Barometer keistimewaan seseorang adalah takwa dan amal shalih; dan mengesampingkan segala fanatisme jahiliyyah seperti fanatisme daerah, keluarga, kelompok maupun jama’ah.

30. Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah adalah memulai dengan mengemukakan hakikat Islam dan manhajnya. Bukan mendatangkan syubhat lalu membantahnya. Kemudian memberikan kepada manusia neraca kebenaran, mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan berbicara kepada mereka menurut kemampuan akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk memasuki jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada mereka.

31. Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya manusiawi, meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah serta Dia-lah yang akan melimpahkan taufik bagi para da’i. Sesungguhnya agama dan segala urusan ini adalah milik Allah Ta’ala.

Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang merupakan buah pikiran dari pengalaman kebanyakan para ulama dan juru dakwah.

Hendaknya kita ketahui dengan yakin bahwa para juru dakwah seandainya mereka mengerti kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya, pasti mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak dalam perjalanan dakwah.

Hendaknya seluruh juru dakwah mengetahui bahwa tidak ada kebaikan bagi mereka dan tidak ada keberhasilan dalam dakwahnya kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala, bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan, memohon taufiq-Nya, niat yang ikhlas, bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan segala perkara hanya milik Allah Ta’ala.

(Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shaalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid Al-Atsari, Edisi Indonesia: Intisari ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta).

Para ulama yang telah memberikan kata sambutan terhadap kitab tersebut, di antaranya:

1. Yang mulia al-‘Allamah ‘Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin.

2. Yang mulia Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh (Menteri Urusan Agama Islam, Saudi Arabia)

3. Syaikh Prof. Dr. Nasir bin ‘Abdul Karim al’Aql (Guru Besar Studi ‘Aqidah di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)

4. Syaikh Su’ud bin Ibrahim asy-Syuraim (Hakim Mahkamah Agung di Mekkah, Imam dan Khatib di Masjidil Haram)

5. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (Pengajar di Darul Hadits al-Khairiyah, Mekkah).

Telah dikoreksi dan mendapatkan pendapat-pendapat yang kritis dan pandangan-pandangan yang cemerlang dari:

1. Yang mulia al-‘Allamah Shalih bin Fauzan al-Fauzan.

2. Syaikh Dr. ‘Abdul Muhsin bin ‘Abdul ‘Aziz al-‘Askar (Pengajar di fakultas Bahasa Arab Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh).

Demikianlah nasihat yang bisa aku sampaikan kepadamu saat ini, anakku. Jangan lupa untuk senantiasa mendo'akan kebaikan bagi dirimu sendiri, bagi kedua orang tuamu, bagi adik-adikmu, dan juga bagi seluruh kaum muslimin. Semoga Allah Ta’ala mudahkan kita dalam kebaikan, dimana saja kita berada, Allahumma amin.

Abu Muhammad Herman

(Yang sangat membutuhkan ampunan dan rahmat Allah Ta’ala)


http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150177417550175&id=1084713685

Catatan Terkait:


BEKAL BAGI PARA DA'I DALAM BERDAKWAH (Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah) http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150180180610175

BEKAL BAGI PARA DA'I DALAM BERDAKWAH (Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah)

Hari ini jam 9:33



Mukaddimah

 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ


Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang



إن الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفره، ونتوب إليه، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أرسله الله تعالى بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله، فبلَّغ الرسالة، وأدى الأمانة، ونصح الأمة، وجاهد في الله حق جهاده، وترك أمته على محجة بيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها إلا هالك، فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله وأصحابه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وأسأل الله عز وجل أن يجعلني وإياكم من أتباعه باطناً وظاهراً، وأن يتوفانا على ملته، وأن يحشرنا في زمرته، وأن يدخلنا في شفاعته، وأن يجمعنا به في جنات النعيم مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين، والصديقين، والشهداء والصالحين. أما بعد:


Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Alloh, yang kita menyanjung-Nya, memohon pertolongan dan pengampunan dari-Nya serta kita bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Alloh dari keburukan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang Alloh berikan petunjuk kepada-Nya maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Alloh leluasakan kepada kesesatan maka tidak ada seorangpun yang yang memberinya petunjuk.


Saya bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Alloh semata yang tidak ada sekutu atas-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang Alloh Ta’ala mengutus beliau dengan petunjuk dan agama yang haq, yang Alloh menangkan dari semua agama. Kemudian beliau menyampaikan risalah, memenuhi amanat dan memberikan nasehat bagi ummat serta berjihad di jalan Alloh dengan sebenar-benarnya jihad. Beliau meninggalkan ummatnya dalam keadaan yang terang benderang, malamnya bagaikan siangnya dan tidak ada yang berpaling darinya kecuali akan binasa.


Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau dan sahabat beliau, serta siapa saja yang mengikuti mereka dengan lebih baik sampai hari kiamat. Saya memohon kepada Alloh agar menjadikanku dan kalian termasuk para pengikut beliau secara bathin dan zhahir, mewafatkan kita di atas agama beliau, membangkitkan kita (pada hari kiamat kelak) di dalam barisan beliau, memasukkan kita ke dalam syafa’at beliau dan mengumpulkan kita di dalam surga na’im (yang penuh kenikmatan) bersama orang-orang yang Alloh anugerahkan nikmat kepada mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Amma Ba’du :


Wahai saudaraku sekalian, sungguh saya benar-benar sangat berbahagia bisa bersua dengan saudara-saudaraku kaum muslimin di sini, dan juga di tempat lain yang diharapkan kebaikan darinya, yang turut menyebarkan agama ini. Karena Alloh Ta’ala telah mengambil perjanjian kepada setiap orang yang Ia anugerahkan ilmu padanya, agar menjelaskan ilmu yang ia miliki kepada manusia dan tidak boleh menyembunyikannya, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :


وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَـقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَـبَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ


“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima,” (QS Ali ‘Imran 187).


Perjanjian yang Alloh ambil ini, bukanlah seperti perjanjian tertulis yang dapat disaksikan manusia, namun ia adalah perjanjian untuk mempelajari segala hal yang Alloh berikan kepada seseorang berupa ilmu. Apabila Alloh telah memberikannya ilmu, maka ini merupakan perjanjian yang Alloh telah mengikat pria atau wanita yang Ia berikan ilmu tersebut. Oleh karena itu wajib bagi orang yang memiliki ilmu untuk menyampaikan ilmunya berupa syariat Alloh Subhanahu wa Ta’ala ke setiap tempat dan pada setiap kesempatan.


Saudaraku sekalian, sesungguhnya tema ceramah kita kali ini adalah “Bekal bagi seorang da’i di dalam berdakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla”, dan bekal (zaad) bagi setiap muslim adalah apa yang telah diterangkan oleh Alloh Azza wa Jalla di dalam firman-Nya :

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى


“Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS al-Baqoroh : 197).


Maka, bekal bagi tiap muslim adalah bertakwa kepada Alloh Azza wa Jalla, yang mana Alloh telah berulang kali menyebutkan takwa di dalam Al-Qur`an dan memerintahkannya, memuji orang yang melaksanakannya dan menjelaskan pahalanya, dan selainnya, diantaranya adalah firman-Nya :



وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَـوَتُ وَالاَْرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَـاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَـافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَـاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ * أُوْلَـئِكَ جَزَآؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّـتٌ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا الاَْنْهَـرُ خَـالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَـامِلِينَ


“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS al-Baqoroh : 133-136)


Wahai saudaraku yang mulia, mungkin anda bertanya-tanya, apakah takwa itu?


Jawabnya adalah apa yang disebutkan di dalam sebuah atsar dari Tholq bin Habib rahimahullahu, beliau mengatakan :

التقوى أن تعمل بطاعة الله، على نور من الله، ترجو ثواب الله


“Takwa adalah, anda mengamalkan ketaatan kepada Alloh, di atas cahaya dari Alloh dan mengharap pahala Alloh.”


Di dalam ucapan ini, terhimpun sifat : (1) ilmu, (2) amal, (3) mengharap pahala dan (4) takut akan siksa-Nya, maka inilah yang dimaksud dengan takwa itu.


Sesungguhnya kita semua mengetahui, bahwa seorang dai yang menyeru kepada Alloh Azza wa Jala, adalah manusia yang paling utama untuk berhias dengan karakteristik ini, bertakwa kepada Alloh di saat bersendirian maupun di hadapan manusia. Saya akan menyebutkan -dengan pertolongan Alloh Azza wa Jalla- pada kesempatan ini, hal-hal yang berkaitan dengan seorang da’i dan bekal-bekal yang sepatutnya seorang da’i mempersiapkannya.


BEKAL PERTAMA : BERILMU


Seorang da’i haruslah memiliki ilmu tentang apa yang ia dakwahkan di atas ilmu yang shahih yang berangkat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Karena setiap ilmu yang diambil dari selain Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, wajib diteliti terlebih dahulu. Setelah menelitinya, maka dapat menjadi jelas apakah ilmu tersebut selaras ataukah menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Apabila selaras maka diterima dan apabila menyelisihi maka wajib menolaknya tidak peduli siapapun yang mengucapkannya.


Telah tetap sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau berkata :

يوشك أن تنزل عليكم حجارة من السماء أقول: قال رسول الله وتقولون: قال أبو بكر وعمر


“Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya mengatakan sabda Rasulullah, kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakr dan ’Umar.”


Apabila pada ucapan Abu Bakr dan ’Umar yang menyelisihi ucapan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam saja (diancam) seperti ini, lantas bagaimana menurut anda dengan ucapan orang yang keilmuan, ketakwaan, persahabatan dan kekhilafahannya di bawah keduanya (Abu Bakr dan ’Umar)?!


Sesungguhnya, menolak ucapan orang yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam adalah suatu hal yang lebih utama. Alloh Azza wa Jalla telah berfirman :

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَـالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (QS an-Nuur : 63)




Imam Ahmad rahimahullahu berkata :


أتدري ما الفتنة؟ الفتنة الشرك، لعله إذا ردّ بعض قوله أن يقع في قلبه شيء من الزيغ فيهلك






”Apakah anda tahu apa yang dimaksud dengan fitnah (dalam ayat di atas, pent.)? fitnah adalah syirik. Bisa jadi ketika ia menolak sebagian ucapan Rasulullah akan masuk ke dalam hatinya sesuatu kesesatan yang pada akhirnya akan membinasakannya.”


Sesungguhnya, bekal pertama yang seharusnya seorang da’i di jalan Alloh mempersiapkannya adalah, ia harus berada di atas ilmu yang diambil dari Kitabullah Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam yang shahih lagi maqbul (diterima). Adapun dakwah tanpa ilmu maka sesungguhnya ini termasuk dakwah di atas kejahilan, dan berdakwah di atas kejahilan itu madharatnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Karena da’i yang berdakwah di atas kejahilan ini, menempatkan dirinya sebagai seorang yang mengarahkan dan membimbing.


Apabila ia orang yang jahil, maka dengan melakukan dakwah seperti ini (di atas kejahilan), dapat menyebabkannya sesat dan menyesatkan, wal’iyadzubillah. Kejahilannya ini akan menjadi jahlul murokkab (kebodohan yang bertingkat) sedangkan jahlul murokkab itu lebih buruk dibandingkan jahlul basith. Karena jahlul basith itu dapat menahan pelakunya dan tidak akan berbicara, dan bisa jadi ia dapat menghilangkan kejahilannya dengan belajar. Tetapi, yang menjadi sumber segala permasalahan adalah keadaan orang yang jahil murokkab, karena orang yang jahil murokkab ini tidak mau diam, ia akan terus berbicara walaupun dari kejahilannya. Pada saat itulah ia menjadi orang yang lebih banyak membinasakan daripada menerangi.


Saudaraku sekalian, sesungguhnya berdakwah ke jalan Alloh tanpa diiringi dengan ilmu itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan orang yang mengikuti beliau. Dengarkanlah firman Alloh Ta’ala yang memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam dalam firman-Nya berikut :



قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِى أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِى وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَآ أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ


”Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata). Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS Yusuf : 108)


Firman-Nya : ” Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah : orang yang mengikuti beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, wajib atasnya berdakwah mengajak kepada Alloh di atas bashiroh, tidak di atas kejahilan.


Renungkanlah wahai para da’i firman Alloh ”di atas bashiroh”, yaitu di atas bashiroh pada tiga hal:


Pertama: di atas bashiroh terhadap apa yang di dakwahkan, yaitu ia haruslah memiliki ilmu (baca : mengetahui) tentang hukum syar’i yang ia dakwahkan. Karena bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang ia duga sebagai suatu hal yang wajib sedangkan di dalam syariat tidaklah wajib, sehingga ia mengharuskan hamba-hamba Alloh sesuatu yang Alloh tidak mengharuskannya. Bisa jadi pula ia mengajak untuk meninggalkan sesuatu yang ia anggap haram sedangkan hal itu di dalam agama Alloh tidaklah haram, sehingga ia telah mengharamkan bagi hamba-hamba Alloh sesuatu yang Alloh halalkan bagi mereka.


Kedua: di atas bashiroh terhadap kondisi dakwah (baca : kondisi obyek dakwah, pent.), oleh karena itulah Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan padanya :

إنك ستأتي قوماً أهل كتاب


”Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab."






[Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitabuz Zakah, Bab Akhdzush Shodaqoh minal Aghniya’ wa taruddu ilal Fuqoro` haitsu kaanuu (1469) dan Muslim dalam Kitabul Iman, Bab as-Du`a’ ila asy-Syahadatain wa Syaro’i` al- Islam (13), (19)].


Supaya dia (Mu’adz) mengetahui kondisi mereka dan bersiap-siap di dalam menghadapi mereka.


Oleh karena itulah kondisi mad’u (obyek dakwah) ini haruslah diketahui, sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana kemampuan mereka untuk debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk berdiskusi dan berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya, apabila anda memasuki perdebatan dengan orang seperti ini (baca : yang lebih berilmu dan pandai debat sedangkan anda tidak mengetahuinya, pent.), sedangkan dia lebih tangguh di dalam berdebat, maka hal ini akan menjadi bencana yang besar terhadap kebenaran, DAN ANDALAH PENYEBAB INI SEMUA.


Anda jangan pernah sekali-kali beranggapan bahwa para pelaku kebatilan pasti gagal di dalam segala hal, padahal Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

إنكم تختصمون إليّ ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض فأقضي له بنحو ما أسمع


”Sesungguhnya kalian bertikai dan datang melapor kepadaku, dan bisa jadi ada sebagian dari kalian yang lebih lihai di dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang lainnya sehingga aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar.”


[Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitabusy Syahadaat, Bab man Aqoomal Bayyinah ba’dal Yamiin (2680) dan Kitabul Ahkaam, Bab Mau’izhatul Imam lil Hadhorim (7169) serta Muslim di dalam Kitab Bab Bayaan anna Hukmal Haakim la yughoyyirul Bathin (1713)].


Hadits ini menunjukkan bawah seorang yang bertikai, walaupun ia seorang yang batil, terkadang ia lebih cakap di dalam mengemukakan hujjahnya daripada orang lain, sehingga diputuskan berdasarkan apa yang didengar dari orang yang bertikai ini, oleh karena itulah anda harus mengetahui kondisi mad’u.


Ketiga: di atas bashiroh di dalam cara berdakwah. Alloh Ta’ala berfirman :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَـدِلْهُم بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ


”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl : 125).


Sebagian manusia, acap kali ketika menjumpai suatu kemungkaran, ia langsung terburu-buru main sikat. Ia tidak berfikir akan dampak dan akibat perbuatannya ini, tidak hanya bagi dirinya, namun juga bagi dirinya dan rekan seperjuangannya sesama da’i yang menyeru kepada kebenaran. Oleh karena itulah, wajib bagi seorang da’i sebelum ia bergerak (untuk berdakwah), hendaknya ia mencermati dan menimbang dampak-dampaknya. Kadang kala, dapat juga terjadi pada waktu itu, sesuatu yang tidak hanya akan memadamkan kobaran semangat atas aktivitasnya (baca : dakwahnya), namun perbuatannya ini juga akan memadamkan api semangatnya dan semangat orang selainnya di masa yang akan datang, mungkin dalam waktu dekat tidak lama lagi. Oleh karena itulah, aku menganjurkan saudara-saudaraku agar berdakwah dengan menggunakan hikmah dan ta`anni (baca : tenang, tidak tergesa-gesa), suatu perkara yang mungkin akan menunda waktu barang sedikit, namun hasilnya akan terpuji dengan kehendak Alloh Ta’ala.


Apabila hal ini, maksudku da’i yang berbekal dengan ilmu shahih yang dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, merupakan sesuatu yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’iyyah, maka sesungguhnya (hal ini) juga ditunjukkan oleh akal yang sharih (terang) yang tidak memiliki syubhat maupun syahwat. Karena bagaimana mungkin anda dapat berdakwah menyeru kepada Alloh Jalla wa ’Ala sedangkan anda tidak mengetahui jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya. Anda tidak mengetahu syariat-Nya lantas bagaimana bisa dibenarkan anda menjadi seorang da’i? Apabila seorang manusia tidak memiliki ilmu, maka yang utama baginya adalah belajar terlebih dahulu, baru kemudian ia boleh berdakwah.


Mungkin akan ada yang berkata : ”Bukankah ucapan anda ini menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :



بلغوا عني ولو آية


”Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.”


[Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Ahaadits al-Anbiya`, Bab Ma dzakaro ’an Bani Isra`il (3461)]


Maka saya jawab : tidak. Karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Sampaikan dariku”, oleh karena itulah sesuatu yang kita sampaikan haruslah benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam. Dan inilah yang kami maksudkan. Pada saat kami mengatakan bahwa da’i itu memerlukan ilmu, kami bukanlah memaksudkan bahwa ia haruslah mencapai tingkatan orang yang ahli di dalam ilmu, namun kami mengatakan bahwa ia tidak boleh berdakwah melainkan dengan apa yang ia ketahui saja dan tidak boleh berkata melainkan dengan yang ia ketahui.


BEKAL KEDUA: SABAR


Seorang da’i haruslah bersabar di atas dakwahnya, sabar atas apa yang ia dakwahkan, sabar terhadap orang yang menentang dakwahnya dan sabar atas segala aral rintangan yang menghadangnya.


Seorang da’i haruslah bersabar dan berupaya menetapi kesabaran di dalam berdakwah, jangan sampai ia berhenti atau jenuh, namun ia harus tetap terus berdakwah ke jalan Alloh dengan segenap kemampuannya. Terlebih di dalam kondisi dimana berdakwah akan lebih bermanfaat, lebih utama dan lebih tepat, maka ia haruslah benar-benar bersabar di dalam berdakwah dan tidak boleh jenuh, karena seorang manusia apabila dihinggapi kejenuhan maka ia akan letih dan meninggalkan (dakwah). Akan tetapi, apabila ia menetapi kesabaran di atas dakwahnya, maka ia akan meraih pahala sebagai orang-orang yang sabar di satu sisi, dan di sisi lain ia akan mendapatkan kesudahan yang baik.


Dengarkanlah firman Alloh Azza wa Jalla yang menyeru Nabi-Nya :

تِلْكَ مِنْ أَنْبَآءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَآ إِلَيْكَ مَا كُنتَ تَعْلَمُهَآ أَنتَ وَلاَ قَوْمُكَ مِن قَبْلِ هَـذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَـقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ


“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang hal yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Huud : 49)


Seorang manusia (baca : da’i) tetaplah harus bersabar atas segala hal yang merintangi dakwahnya berupa sanggahan-sanggahan dan bantahan-bantahan, karena setiap manusia yang menjadi seorang da’i di jalan Alloh azza wa Jalla pastilah akan menghadapi rintangan :


وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوّاً مِّنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً


“Dan seperti itulah, Telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS al-Furqon : 31)


Setiap dakwah yang benar, pastilah akan menghadapi orang yang merintangi, menghalangi, membantah dan menebarkan keragu-raguan. Namun, wajiblah bagi seorang da’i bersabar menghadapi segala sesuatu yang merintangi dakwahnya. Meskipun dakwahnya disifati dengan dakwah yang salah atau batil, sedangkan ia mengetahui bahwa dakwahnya itu berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia tetaplah harus bersabar.


Ini bukan artinya seseorang juga harus bersabar atas apa yang ia katakan atau ia dakwahkan walaupun telah jelas baginya kebenaran. Karena barangsiapa yang tetap bersikeras dengan apa yang ia dakwahkan padahal telah telas baginya kebenaran, maka ia serupa dengan orang yang Alloh firmankan :

يُجَـادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنظُرُونَ


“Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah jelas (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS al-Anfaal : 6)


Berbantahan tentang kebenaran sesudah jelas bahwa adalah sifat yang tercela, Alloh berfirman tentang orang yang disifatkan demikian :

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرا


“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisaa` : 115).


Jadi, segala hal yang merintangi dakwah anda wahai para da’i, apabila hal itu benar maka wajib bagi anda kembali kepada kebenaran tersebut, dan apabila batil maka jangan sampai tekad anda dibelokkan dari tujuan semula pada dakwah anda.


Demikian pula, seorang da’i haruslah bersabar atas segala aral rintangan yang menghadang, karena seorang da’i itu dia pastilah akan dihalang-halangi baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Lihatlah para Rasul Sholawatullah wa Salamuhu ‘alaihim yang dihalang-halangi dengan perkataan dan perbuatan, bacalah firman Alloh Azza wa Jalla :



كَذَلِكَ مَآ أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُواْ سَـحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ


“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.” (QS adz-Dzaariyaat : 51)


Bagaimana pandangan anda terhadap orang yang diberi wahyu dari Rabb-nya dan dikatakan di mukanya : “sesungguhnya kamu adalah seorang tukang sihir atau orang gila”? Tidak diragukan, ia akan merasa terluka. Walaupun begitu, para rasul tersebut tetap bersabar atas gangguan yang mereka alami berupa perkataan ataupun perbuatan.


Lihatlah kepada rasul pertama Nuh ‘alaihish Sholatu was Salam, suatu ketika kaumnya melewati beliau dan beliau pada saat itu sedang membangun sebuah kapal lalu mereka mencela beliau, lantas beliau berkata kepada mereka :

إِن تَسْخَرُواْ مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ * فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَن يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُّقِيمٌ


“(Berkatalah Nuh) Jika kamu mengejek kami, Maka Sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (Kami). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa oleh adzab yang menghinakannya dan yang akan ditimpa azab yang kekal.” (QS Huud : 38-39)


Mereka tidak hanya mengejek beliau, namun mulai mengancam untuk membunuh beliau :



قَالُواْ لَئِنْ لَّمْ تَنْتَهِ ينُوحُ لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُرْجُومِينَ


“Mereka berkata: Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti Hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam.” (QS asy-Syu’araa` : 116)


Artinya adalah, beliau termasuk orang-orang yang akan dibunuh dengan cara dilempari batu. Di sini ada ancaman mati dengan implikasi bahwa “kami telah melempari orang selain dirimu” untuk menampakkan keperkasaan mereka (kaum nabi Nuh) sedangkan mereka telah merajam orang lain “dan engkau (Nuh) adalah termasuk mereka.” Namun, hal ini tidaklah memalingkan Nuh ’alaihish Sholatu was Salam dari dakwah beliau, bahkan beliau tetap terus melangsungkan dakwahnya sampai Alloh membukakan untuknya dan untuk kaumnya kemenangan.


Dan lihatlah Ibrahim ‘alaihish Sholatu was Salam, kaumnya menghadapinya dengan penentangan, bahkan mereka mengolok-olok beliau di hadapan manusia :

قَالُواْ فَأْتُواْ بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ


“Mereka berkata: (Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (QS al-Anbiyaa` : 61)


kemudian mereka mengancam akan membakar beliau :

قَالُواْ حَرِّقُوهُ وَانصُرُواْ ءَالِهَتَكُمْ إِن كُنتُمْ فَـعِلِينَ


”Mereka berkata: Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak.” (QS al-Anbiyaa` : 68).


Lalu mereka mengobarkan api yang sangat besar dan mereka melempari beliau dengan manjanik (ketapel raksasa) disebabkan jarak mereka yang jauh dikarenakan panasnya api. Akan tetapi, Rabb pemilik keperkasaan dan kemuliaan ber-firman:

قُلْنَا ينَارُ كُونِى بَرْداً وَسَلَـمَا عَلَى إِبْرَهِيمَ


”Kami berfirman: Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS al-Anbiyaa` : 69).


Maka menjadilah api itu dingin dan keselamatan baginya, dan kesudahan yang baik adalah bagi Ibrahim :

وَأَرَادُواْ بِهِ كَيْداً فَجَعَلْنَـهُمُ الاَْخْسَرِينَ


”Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, Maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.” (QS al-Anbiyaa` : 70)


Lihatlah Musa ‘alaihish Sholatu was Salam dan bagaimana Fir’aun mengancam untuk membunuh beliau :

ذَرُونِى أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّى أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُـمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِى الاَْرْضِ الْفَسَادَ


”Dan Berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): Biarkanlah Aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, Karena Sesungguhnya Aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” (QS Ghaafir : 26)


Ia mengancam untuk membunuh beliau akan tetapi perkara berbicara lain dan kesudahan yang baik adalah bagi Musa ‘alaihish Sholatu was Salam

وَحَاقَ بِـَالِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ


”Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk.” (QS Ghaafir : 45)


Lihatlah Isa ‘alaihish Sholatu was Salam yang mendapatkan gangguan sampai-sampai kaum Yahudi menuduh beliau sebagai anak pezina. Mereka membunuh beliau dengan asumsi mereka dan menyalibnya, akan tetapi Alloh Ta’ala berfirman :



وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِى شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِيناً بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزاً حَكِيماً


”Mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah Telah mengangkat Isa kepada-Nya]. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS an-Nisaa` : 157-158).


Maka Alloh pun menyelamatkan beliau.


Dan lihatlah penutup dan imam para nabi, penghulu anak cucu Adam, Muhammad Shallallahu ’alaihi was Salam. Alloh berfirman tentang beliau :



يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَـكِرِينَ


”Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS al-Anfaal : 30)



وَيَقُولُونَ أَءِنَّا لَتَارِكُو ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ


”Dan mereka berkata: Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?.” (QS ash-Shaaffaat : 36).


Beliau pun menghadapi gangguan-gangguan berupa perkataan maupun perbuatan, yang mana hal ini telah diketahui oleh para ulama di dalam buku-buku Tarikh (Sejarah) dan kesudahan yang baik adalah bagi beliau.


Jadi, setiap da’i pastilah akan menemui gangguan, namun ia haruslah dapat bersabar menghadapinya. Oleh karena itulah, Alloh Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi was Salam :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ تَنزِيلاً


”Sesungguhnya kami Telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (QS al-Insaan : 23)


Mungkin dikira Alloh akan berfirman (setelah ayat di atas) : ”maka bersyukurlah kamu atas nikmat Alloh yang menurunkan al-Qur`an ini secara berangsur-angsur”, padahal Alloh berfirman pada beliau :

فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلاَ تُطِعْ مِنْهُمْ ءَاثِماً أَوْ كَفُوراً


”Maka Bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.” (QS al-Insaan : 24)


Hal ini menunjukkan bahwa orang yang menerima al-Qur`an ini, maka ia akan mendapatkan perkara-perkara yang memerlukan kesabaran yang besar. Maka hendaklah bagi setiap da’i mau bersabar dan tetap terus berdakwah sampai Alloh membukakan (kemenangan) baginya, namun (ingat) Alloh tidak mesti membukakan (kemenangan) baginya di dalam kehidupannya. Yang penting adalah dakwahnya tetap langgeng di tengah-tengah manusia, tetap kuat dan diikuti. Tidaklah penting figur tersebut namun yang penting adalah dakwahnya, apabila dakwahnya tetap langgeng bahkan setelah ia matipun, maka sesungguhnya ia tetap hidup. Alloh Azza wa Jalla berfirman :

أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَـهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِى النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَـتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَـفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ


”Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS al-An’aam : 122)


Pada hakikatnya, kehidupan seorang da’i tidaklah berarti ruhnya tetap berada di dalam jasadnya saja, namun ucapannya tetap hidup di tengah-tengah manusia.


Lihatlah kisah Abi Sufyan dengan Heraklius yang telah mendengar keluarnya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam. Ia memanggil Abu Sufyan dan menanyakan kepadanya tentang Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam, perihal keadaan beliau, nasab beliau, apa yang beliau dakwahkan dan keadaan para sahabat beliau.


Kemudian ketika Abu Sufyan menceritakan kepadanya tentang apa yang ia tanyakan, Heraklius berkata kepadanya :

إن كان ما تقول حقّاً فسيملك ما تحت قدمي هاتين


”Apabila yang engkau katakan itu benar, maka ia akan segera menduduki negeri yang berada di bawah kedua telapak kakiku ini.”


[Dikeluarkan oleh al-Bukhari di dalam Kitab Bada`ul Wahyu, Bab Kaifa Kaana Bada`ul Wahyu ila Rasulillah Shallallahu ’alaihi wa Salam]


Subhanalloh, siapa yang dapat membayangkan bahwa seorang raja imperium (Romawi), sebagaimana mereka katakan, dapat mengatakan perkataan ini tentang Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, padahal beliau belum membebaskan jazirah Arab dari penghambaan terhadap syaithan dan hawa nafsu? siapa yang dapat membayangkan bahwa orang seperti ini akan mengatakan sebagaimana yang ia katakan? Oleh karena itulah ketika Abu Sufyan keluar, ia mengatakan kepada kaumnya :



لقد أمِر أمر ابن أبي كبشة إنه ليخافه ملك بني الأصفر


”Sungguh besar urusan Ibnu Abi Kabasyah (Muhammad, pent.), sesungguhnya ia benar-benar ditakuti oleh raja Bani al-Ashfar (Bizantium).” kata أمِر bermakna عظم ”agung/besar”, seperti firman Alloh :

لقد جئت شيئاً إمرا


”Engkau benar-benar datang dengan sesuatu yang besar/agung.” yaitu عظيماً ”besar”.


Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam sungguh telah menguasai negeri yang berada di bawah kedua telapak kaki Heraklius dengan dakwah beliau, bukan dengan figur pribadi beliau. Karena dakwah beliau telah datang ke negeri ini dan memusnahkan berhala-berhala, kesyirikan dan para pelakunya. Para Khalifah Rasyidin menguasainya setelah Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, mereka menguasainya dengan dakwah dan syariat Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam.


Oleh karena itu, hendaklah setiap da’i itu bersabar dan ia akan mendapatkan kesudahan yang baik selama rentang hidupnya dan setelah matinya, apabila ia jujur kepada Alloh.

إِنَّ الأَرْضَ للَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَـقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ


”Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al-A’raaf : 128)


Dan firman-Nya :

إِنَّهُ مَن يَتَّقِ وَيِصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ


”Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf : 90)


***


Abu Muhammad Herman


http://www.facebook.com/editnote.php?draft¬e_id=403029922122&id=1369882993


Sumber (Bekal Bagi Para Da’i Dalam Berdakwah, e-book Abu Salma):


http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/11/23/bekal-bekal-bagi-para-dai/


http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/11/23/bekal-bagi-para-dai-2/


http://maramissetiawan.wordpress.com/2007/12/06/295/

Tanggal 24 February......


Alhamdulillah......safar kali ini kami berkumpul sekeluarga....di villa terra.....seperti kemarin buah hati datang dihantar oleh Abu Shalih dan Ustaz Jauhar sekeluarga dijemput oleh Abu Irfan.....
Agak lewat mendarat kerna bandara digunakan oleh pihak tentera....selama 30 mins di udara......


Alhamdulillah selamat mendarat seperti yang lalu kami dijemput oleh pihak villa......sesampai di villa....putri berenang kerna nanti rombongan dari Solo mampir maka kolam digunakan ikhwan dan anak2......





Rendang sapi, ayam belado, sambal goreng, ayam goreng, dan kek pandan......roti dan nuttella.....
Kali ini Mundzir memesan berbagai keropok.....
Selalunya sebelum kami ke Yogja.....kami akan bertanya pada buah hati apa yang ingin mereka pesan untuk kami bawa .....rasanya lebih baik ditanya.....memudahkan ana untuk membelinya....tapi kali ini Mundzir bicara terserah  nggak biasa Mundzir bicara begitu.....lantas ana cadangkan keropok mungkin kerna udah lama nggak makan jajanan singapore...akhirnya dia setuju......maka dibeli berbagai jenis keropok........
Dari Solo.....mereka bertolak selepas solat zohor kerna menunggu Ustaz Jauhar selesai mengajar.....mereka sudah makan siang di pondok....sesampai di villa anak2 udah.....bersiap untuk berenang.....maka penuhlah kolam dengan suara percikkan air dan derai tawa mereka bersama abi mereka......



Irfan semalamnya di pondok demam.....cuti dari kelas dua hari....sesampai di villa....langsung masuk ke kolam....nggak tertahan kerna begitu meriah suasana di kolam memanggilnya.....



Setelah waktu memulai senja....maka semua anak2 merasa berat untuk keluar dari kolam.....tapi rasa lapar mula berkunjung.....setelah selesai bersiap....maka beramai-ramai menjamu selera.....sepertinya lauk-pauk yang dibawa dari singapura merupakan kegemaran keluarga......sesudah makan.....bersolat berjemaah.....lalu obrolan dan minum panas diringi dengan anak2 bermain.....Selepas solat Isyak maka kami bersalam dan berpelukkan..... mereka pulang ke Solo.....Jazakumullahu khairon katsiran pada semua yang hadir.....

Setelah tetamu pulang .....suasana  sepi di villa.....buah hati sudah kepenatan bermain air dan dikenyangkan oleh berbagai makanan......ngantuk pun menyapa.....tidurlah mereka.....melihat mereka berkumpul......rasa bersyukur pada Rabb.....yang memberi nikmat menjadi ummi pada buah hati yang Alhamdulillah....maka do'a dipohon kepada Rabb....


“Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu, aku menyerahkan segala urusanku kepada-Mu.


Aku hadapkan wajahku kepada-Mu dan kusandarkan punggungku kepada-Mu (memulai tidur dengan pertolongan-Mu), dalam suka dan senang.


Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari siksa-Mu melainkan kepada-Mu.


Aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan dan Nabi-Mu yang Engkau utus.”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang mengucapkan dzikir itu, “Bila engkau meninggal dunia, maka engkau meninggal dalam fithrah.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Fath XI:113 dan Muslim IV:2081


Di tengah keheningan malam, bertemankan bulan….melihat buah hati tidur…..rasa bersyukur kepada Allah diberi kenikmatan dunia……rasa rindu pada mereka terubat…..Subhanallah betapa kekadang diri ini tidak hargai setiap detik bersama buah hati……berlalunya masa maka azan subuh berkumandang…..