Laman

Rabu, Agustus 18, 2010

~ Berkah Ramadhan, Memperbaiki Diri Menjadi Lebih Baik ~

Rabu, 18 Agustus 2010 14:00
Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam - Puasa

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.



Bulan Ramadhan sungguh adalah bulan yang penuh berkah, artinya mendatangkan kebaikan yang banyak. Kebaikan yang diperoleh umat Islam di bulan Ramadhan bisa meliputi ukhrowi dan duniawi. Coba kita lihat di bulan Ramadhan ini begitu banyak kebaikan ukhrowi yang diperoleh setiap muslim. Di antara keberkahan tersebut adalah dengan menjalankan shiyam ramadhan akan mendapatkan pengampunan dosa yang telah lalu. Keberkahan lainnya lagi adalah dalam menjalankan shalat malam (shalat tarawih). Itu juga adalah sebab pengampunan dosa. Begitu pula pada bulan Ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari 1000 bulan, yaitu lailatul qadar. Inilah di antara keberkahan ukhrowi yang bisa diperoleh. Namun ada satu sisi kebaikan lainnya, yang mana ini tidak kalah pentingnya, yaitu bulan Ramadhan adalah saat yang tepat untuk memperbaiki diri sehingga selepas bulan Ramadhan seseorang bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Pembahasan inilah yang akan kami ulas dalam tulisan sederhana ini.


Pintu Kebaikan Dimudahkan di Bulan Ramadhan


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِى مُنَادٍ يَا بَاغِىَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِىَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ


“Pada malam pertama bulan Ramadhan syetan-syetan dan jin-jin yang jahat dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, tidak ada satu pun pintu yang terbuka dan pintu-pintu surga dibuka, tidak ada satu pun pintu yang tertutup, ketika itu ada yang menyeru: “Wahai yang mengharapkan kebaikan bersegeralah (kepada ketaatan), wahai yang mengharapkan keburukan/maksiat berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang selamat dari api neraka pada setiap malam di bulan Ramadhan”.[1]



Dalam hadits lainnya disebutkan,



إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ


”Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.”[2]

 
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Hadits di atas dapat bermakna, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pintu Jahannam sebagai terbelenggunya setan-setan sebagai tanda masuknya bulan Ramadhan dan mulianya bulan tersebut.” Lanjut Al Qodhi ‘Iyadh, “Juga dapat bermakna terbukanya pintu surga karena Allah memudahkan berbagai ketaatan pada hamba-Nya di bulan Ramadhan seperti puasa dan shalat malam. Hal ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan, orang akan lebih sibuk melakukan kebaikan daripada melakukan maksiat. Inilah sebab mereka dapat memasuki surga dan pintunya. Sedangkan tertutupnya pintu neraka dan terbelenggunya setan, inilah yang mengakibatkan seseorang mudah menjauhi maksiat ketika itu.”[3]


Sampai-sampai karena terbuka lebarnya pintu kebaikan ini, para ulama katakan bahwa pahala amalan apa saja di bulan Ramadhan pun akan berlipat ganda[4]. Sebagaimana kita dapat melihat pada perkataan ulama salaf berikut ini.

 
Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” [5]




An Nakho’i rahimahullah mengatakan, “Puasa sehari di bulan Ramadhan lebih afdhol dari puasa di seribu hari lainnya. Begitu pula satu bacaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) di bulan Ramadhan lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di hari lainnya. Begitu juga pahala satu raka’at shalat di bulan Ramadhan lebih baik dari seribu raka’at di bulan lainnya.”[6]


Maka kita dapat saksikan sendiri di bulan Ramadhan, orang yang semula malas shalat lima waktu, akhirnya menjadi rajin. Orang yang amat jarang kelihatan di masjid, kembali sadar menjalankan shalat jama’ah. Orang yang jarang mengerjakan shalat malam, begitu giat di bulan Ramadhan untuk menjalankan ibadah shalat tarawih. Orang yang sesekali baca Al Qur’an, di bulan Ramadhan akhirnya bisa mengkhatamkan Al Qur’an. Sungguh luar biasa barokah bulan ini karena begitu mudah setiap orang menjalankan kebaikan.

 
Banyaknya Pengampunan Dosa




Dalam beberapa amalan di bulan Ramadhan, kita dapat temukan di dalamnya ada pengampunan dosa. Di antara amalan tersebut adalah ibadah puasa yang kita jalankan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.”[7] Pengampunan dosa di sini bisa diperoleh jika seseorang menjaga diri dari batasan-batasan Allah dan hal-hal yang semestinya dijaga.[8]




Begitu pula pada amalan shalat tarawih, di dalamnya juga terdapat pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[9]


Barangsiapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan amalan shalat, juga akan mendapatkan pengampunan dosa sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


“Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[10] Adapun pengampunan dosa dalam hadits-hadits di atas, dimaksudkan untuk dosa-dosa kecil sebagaimana pendapat mayoritas ulama.[11]




Karena sampai banyaknya pengampunan dosa di bulan suci ini, Qotadah pun mengatakan, “Siapa saja yang tidak mendapatkan pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit mendapatkan ampunan.”[12]


Keadaan Yang Semestinya Selepas Ramadhan


Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa menghapuskan dosa, juga pintu kebaikan dimudahkan, maka keadaan seseorang selepas ramadhan seharusnya dalam keadaan seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya, yaitu bersih dari dosa. Namun hal ini dengan syarat, seseorang haruslah bertaubat dari dosa besar yang pernah ia terjerumus di dalamnya, dia bertaubat dengan penuh rasa penyesalan.


Lihatlah perkataan Az Zuhri berikut, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”


Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[13]


Sudah Seharusnya Menjaga Amalan Kebaikan


Ketika keluar bulan Ramadhan seharusnya setiap insan menjadi lebih baik dibanding dengan bulan sebelumnya karena dia sudah ditempa di madrasah Ramadhan untuk meninggalkan berbagai macam maksiat dan mudah melaksankan kebajikan. Orang yang dulu malas-malasan shalat 5 waktu seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar bulan Ramadhan. Juga dalam masalah shalat Jama’ah bagi kaum pria, hendaklah pula dapat dirutinkan dilakukan di masjid sebagaimana rajin dilakukan ketika bulan Ramadhan. Begitu pula dalam bulan Ramadhan banyak wanita muslimah yang berusaha menggunakan jilbab yang menutup diri, maka di luar bulan Ramadhan seharusnya hal ini tetap dijaga, bahkan bisa lebih disempurnakan lagi sebagaimana tuntunan Islam.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ


“(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.”[14]


Seharusnya amal seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal datang menjemput. Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,


وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ


“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[15] Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ulama lainnya mengatakan, “Sembahlah Allah bukan pada waktu tertentu saja”. Jika memang maksudnya adalah demikian tentu orang yang melakukan ibadah sekali saja, maka ia sudah disebut orang yang taat. Namun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah sampai datang ajal”. Ini menunjukkan bahwa ibadah itu diperintahkan selamanya sepanjang hayat.[16]

 
Ibadah dan amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada waktu tertentu saja. Jadi, ibadah shalat 5 waktu, shalat jama’ah, shalat malam, gemar bersedekah dan berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah musiman. Namun sudah seharusnya di luar bulan Ramadhan juga tetap dijaga.


Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami (penulis) juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”[17] Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja.


Perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, ”Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. ... Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]


Para ulama juga mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, -pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.”


Ingatlah pula pesan Ka’ab bin Malik, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lantas terbetik dalam hatinya bahwa setelah lepas dari Ramadhan akan berbuat maksiat pada Rabbnya, maka sungguh puasanya itu tertolak (tidak bernilai apa-apa).”[19]


Semoga Allah menjadikan Ramadhan kita di tahun ini lebih bermakna dari yang sebelumnya. Semoga kita senantiasa mendapatkan barokah bulan suci ini. Amin, Yaa Samii’um Mujiib.


Panggang-GK, 8 Ramadhan 1431 H (18 Agustus 2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.rumaysho.com


--------------------------------------------------------------------------------


[1] HR. Tirmidzi no. 682 dan Ibnu Majah no. 1642. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.


[2] HR. Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu


[3] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/188.


[4] Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, Dar Al Imam Ahmad, cetakan 1428 H, hal. 118.


[5] Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 270.


[6] Idem.


[7] HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760.


[8] Lathoif Al Ma’arif, 364.


[9] HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759.


[10] HR. Bukhari no. 1901.


[11] Lathoif Al Ma’arif, 365.


[12] Lathoif Al Ma’arif, 370-371.


[13] Lathoif Al Ma’arif, 366.


[14] HR. Muslim no. 782.


[15] Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 392.


[16] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 4/423.


[17] Lihat Lathoif Al Ma’arif, 390.


[18] Lathoif Al Ma’arif, 393.


[19] Lathoif Al Ma’arif, 378.











~ Jaminan Dari Allah ~

Tuesday, 17. August 2010


Bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya sangat banyak. Di antaranya adalah berupa jaminan dari-Nya bagi siapa saja yang mau benar-benar mengikuti petunjuk-Nya bahwa mereka tidak akan sesat dan tidak pula celaka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123)


Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 49).


Lalu apa yang dimaksud dengan mengikuti petunjuk Allah? Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti petunjuk Allah ialah: [1] Membenarkan berita yang datang dari-Nya, [2] Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman, [3] Mematuhi perintah, [4] Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 515)


[1] Membenarkan berita


Demikianlah sikap seorang mukmin. Karena dia meyakini bahwa apa yang dikatakan oleh Allah adalah kebenaran di atas kebenaran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah mengatakan yang benar dan Dia juga menunjukkan jalan -yang benar-.” (QS. al-Ahzab: 4). Maka seluruh ucapan Allah dan syari’at yang ditetapkan-Nya adalah kebenaran. Adapun ucapan dan perbuatan yang batil sama sekali tidak layak disandarkan kepada-Nya dari sisi mana pun. Ucapan dan perbuatan yang batil -dengan segala bentuknya- bukan termasuk petunjuk-Nya. Karena Allah tidak akan menunjukkan kecuali kepada jalan yang lurus (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 658)


Termasuk di dalam hal ini adalah membenarkan sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, akan tetapi itu merupakan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Apa yang disampaikan oleh Nabi merupakan penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kami turunkan kepadamu adz-Dzikra (al-Qur’an) supaya kamu menjelaskannya kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan mudah-mudahan mereka berpikir.” (QS. an-Nahl: 44). Oleh sebab itu terdapat ucapan yang masyhur dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Barangsiapa menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia berada di tepi jurang kehancuran.” Imam asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya Sunnah/hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya gara-gara mengikuti pendapat seseorang.”


[2] Menepis syubhat


Syubhat adalah kesamaran-kesamaran yang dibuat oleh musuh-musuh agama dalam rangka mengelabui manusia dari jalan yang lurus. Sehingga kebenaran tampak sebagai kebatilan, dan sebaliknya kebatilan tampak sebagai kebenaran. Timbulnya pembangkangan terhadap ketetapan Allah dan penolakan terhadap berita yang datang dari-Nya muncul dari pintu ini selain dari pintu syahwat. Padahal, kita semua tahu bahwasanya keberuntungan dan kebahagiaan hanya akan dicapai dengan taat dan tunduk kepada Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi lelaki dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan mereka, barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)


Oleh sebab itu berhati-hati dalam mengambil ilmu adalah jalan untuk menyelamatkan diri dari terpaan syubhat. Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Kemudian juga dengan bertanya kepada para ulama mengenai permasalahan yang tidak dipahami. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Dengan senantiasa merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pemutus perselisihan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Dan juga selalu berusaha mengikuti metode pemahaman salafus shalih. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100). Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak para salaf/pendahulu, meskipun orang-orang menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat akal-akal manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.”


[3] Mematuhi perintah


Menyimpang dari perintah rasul adalah kehancuran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyimpang dari perintah rasul itu, karena mereka akan ditimpa dengan fitnah/malapetaka atau siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63). Memang terkadang apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya terasa berat atau tidak disukai oleh hawa nafsu manusia. Ini merupakan ujian dari Allah untuk menampakkan siapakah di antara hamba-Nya yang mendahulukan ketaatan kepada-Nya daripada keinginan hawa nafsunya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu jelek bagi kalian. Allah yang mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216).


[4] Menundukkan hawa nafsu


Allah ta’ala berfirman menukil ucapan Nabi Yusuf ‘alaihis salam (yang artinya), “Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat mengajak kepada keburukan kecuali yang dirahmati oleh Rabbku.” (QS. Yusuf: 53). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Adapun barangsiapa yang merasa takut terhadap kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal untuknya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang berjuang menundukkan hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. Ahmad). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu diliputi oleh hal-hal yang tidak disenangi -hawa nafsu- dan neraka diliputi oleh hal-hal yang menyenangkan -bagi nafsu-.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad).


Keempat hal di atas telah tercakup dalam ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “Orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.” Inilah bukti kedalaman ilmu salafus shalih. Semoga Allah membimbing kita untuk mengikuti jejak mereka. Allahul muwaffiq.

http://www.abumushlih.com/