Laman

Jumat, April 01, 2011

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (5)


MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (5)
oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
pada 13 Maret 2011 jam 6:38



Rasa Takut dan Keikhlasan


Seorang penuntut ilmu, tentu tidak menginginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Terlebih lagi, jika yang hilang itu adalah keberkahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menambah dekat dengan Allah ta'ala, namun justru sebaliknya, wal 'iyadzu billah...


Tidak sedikit, kita jumpai para penuntut ilmu syar'i yang berusaha untuk mengkaji kitab para ulama, bahkan bermajelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, perkara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokohnya ilmu dalam diri setiap pribadi muslim, niscaya agamanya akan tertopang landasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Mukminin dalam bidang hadits, Muhammad bin Isma'il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahihnya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”


Begitu pula, perkataan Imam Ahlus Sunnah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang sangat terkenal, “Umat manusia sangat membutuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.” (lihat al-'Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).


Akan tetapi, tatkala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sampai meresap serta tertancap kuat ke dalam lubuk hati, maka justru musibah dan bencana yang ditemui. Tidakkah kita ingat ungkapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan Nasrani.” (lihat Syarh Ba'dhu Fawa'id min Surah al-Fatihah oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jumpai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.


Saudaraku, semoga Allah menjaga diriku dan dirimu... Masih tersimpan dalam ingatan kita, doa yang sepanjang hari kita panjatkan kepada Allah, “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka, dan bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nasrani).” Inilah doa yang sangat ringkas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebutnya sebagai doa yang paling bermanfaat, mengingat kandungannya yang sangat dalam dan berguna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimurkai karena mereka berilmu namun tidak beramal. Adapun kaum Nasrani tersesat karena mereka beramal tanpa landasan ilmu. Maka, orang yang berada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.


Dari sinilah, kita mengetahui, bahwa hakekat keilmuan seseorang tidak diukur dengan banyaknya hafalan yang dia miliki, banyaknya buku yang telah dia beli, banyaknya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyaknya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibanggakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu wa ardhahu, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi [pokok dari] ilmu adalah khas-yah/rasa takut -kepada Allah-.” (lihat al-Fawa'id karya Ibnul Qayyim rahimahullah).


Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam berjuang menggapai keikhlasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-'Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu rahmatan wasi'ah). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu dinilai berdasarkan niatnya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya itu akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena [perkara] dunia yang ingin dia gapai atau perempuan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrahnya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Ikhlas, bukanlah ucapan yang terlontar di lidah, huruf yang tertulis dalam catatan, banyaknya harta yang telah kita sumbangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita berdakwah, atau penampilan fisik yang tampak oleh mata. Ikhlas adalah 'permata' yang tersimpan di dalam hati seorang mukmin yang merendahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keberhasilan yang akan menjadi sebab terbukanya gerbang ketentraman dan hidayah dari Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan hidayah.” (QS. al-An'am: 82). Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi berguna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu'ara': 88-89). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipandang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Sementara kita semua mengetahui, bahwa tanpa keikhlasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta'an.


Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kontemporer yang sangat terkenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak menjadi orang yang memburu popularitas. Beliau mengutip ungkapan para ulama kita terdahulu, Hubbuzh zhuhur yaqtha'uzh zhuhur, “Cinta ketinggian, pasti akan mematahkan punggung.” Artinya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian... Allah berfirman (yang artinya), “Berikanlah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).


Ikhlas -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuksesan dakwah nabi dan rasul serta para pendahulu kita yang salih. Berapapun jumlah orang yang tunduk mengikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai berhasil dan telah menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, meskipun ayahnya sendiri produsen berhala, meskipun anaknya sendiri menolak perintah Rabbnya, meskipun pamannya sendiri tidak mau masuk Islam yang diserukannya, meskipun tidak ada pengikutnya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali...! Mereka, adalah suatu kaum yang mendapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikhlasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan bersama dengan kaum yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada' dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa': 69)


Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita mendapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain... Kalau kita memang ikhlas -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan pernah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah mengingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang menjadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami' al-'Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah memberikan karunia keikhlasan kepada kita...


Bersambung insya Allah...

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (4)

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (4)
oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi pada 12 Maret 2011 jam 13:36



Sebuah Kelezatan Yang Dipertanyakan


Banyak orang -yang belum menyadari keagungan ma'rifatullah- mengira bahwa menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya merupakan sebuah upaya yang sama sekali tidak menyenangkan, apatah lagi mendatangkan kelezatan. Mengapa anggapan negatif semacam itu muncul, sehingga mengesankan bahwa jalan agama merupakan jalan yang tidak menjanjikan kenikmatan apa-apa?


Banyak faktor yang mengelabui manusia sehingga membuat mereka memiliki persepsi yang salah semacam itu. Di antaranya adalah unsur kecintaan kepada dunia -yang notabene sementara dan fana- dan melupakan akherat -padahal akherat itu kekal dan abadi-. Dunia, dengan segenap perhiasannya telah banyak menipu orang. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan baginya balasan amalnya di sana dan mereka tak sedikitpun dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa di akherat kecuali neraka dan lenyaplah apa yang mereka perbuat serta sia-sia apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)


Gara-gara dunia, sebagian orang pun rela menjual agamanya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah dalam melakukan amal-amal, sebelum datangnya fitnah-fitnah bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita, sehingga membuat seorang yang di pagi hari beriman namun di sore harinya menjadi kafir, atau sore harinya beriman namun di pagi harinya menjadi kafir, dia menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan duniawi semata.” (HR. Muslim)


Berbicara soal cinta dunia, tak bisa lepas dari godaan harta, wanita, ataupun tahta. Iblis dan bala tentaranya telah sekian lama berkecimpung dalam dunia 'fitnah' ini untuk menjebak manusia ke jurang-jurang kebinasaan, melalui pintu harta, wanita, atau tahta. Soal harta, bukanlah perkara yang ringan. Sampai-sampai seorang sahabat yang mulia sekelas Umar bin Khattab pun mengakui dalam sebuah ucapannya, “Ya Allah, kami tidak mampu melainkan merasakan gembira terhadap sesuatu yang Kamu hiasi/jadikan indah bagi kami -yaitu harta, wanita, dan anak-anak-. Ya Allah, maka aku memohon kepada-Mu agar dapat menginfakkannya di jalannya yang benar.” (HR. Bukhari secara mu'allaq).


Karena banyaknya orang yang tertipu oleh harta, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengingatkan kepada mereka. Beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya perbendaharaan dunia. Akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah rasa cukup di dalam hati.” (HR. Bukhari).


Siapa yang mengatakan bahwa dengan dua atau tiga lembah emas manusia akan merasa cukup, dengan gaji dua atau tiga ratus juta per bulan orang akan merasa puas, siapa yang mengatakan...? Sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah mempersaksikan, “Seandainya anak Adam itu memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan mengenyangkan rongga/perut anak Adam selain tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari)


Di sisi lain, orang-orang yang berpeluh keringat dan pusing tujuh keliling di atas jalan ketaatan merasakan bahwa apa yang mereka lakukan tidak mendatangkan keuntungan duniawi apa-apa. Waktu mereka 'terbuang', harta mereka 'berkurang', keinginan mereka terkekang; seolah-olah dunia ini telah menjadi sebuah penjara besar yang memasung segala keinginan dan harapan mereka untuk mencapai kenikmatan. Benarkah ketaatan menjadi sebuah upaya yang sia-sia belaka?


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kelezatan mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub (sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut. Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada ma'rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama, sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan, kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia- apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi. Kesempurnaan seorang hamba sangat tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini [ilmu dan cinta], Allahul musta'aan.” (al-Fawa'id, hal. 52)


Dari ucapan beliau ini, kita dapat mengetahui betapa besar peran ilmu tentang Allah dalam membentuk jati diri seorang muslim; yang setia kepada Allah dan rasul-Nya. Karena seorang muslim yang ideal adalah yang senantiasa mendahulukan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya di atas segalanya. Sosok muslim seperti itulah yang dikabarkan akan bisa mengecap manisnya iman.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa memilikinya maka dia akan merasakan manisnya iman...” Di antaranya, “Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud lezatnya iman ini antara lain adalah berupa kenikmatan yang dirasakan ketika menjalani ketaatan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga menggambarkan bahwa sosok manusia yang mampu mencapat derajat manisnya iman ini adalah orang yang di dalam hatinya tidak menyimpan perasaan tidak suka dan benci kepada agama yang suci ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan bisa merasakan lezatnya iman orang-orang yang ridha kepada Rabbnya, ridha Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim).


Ketiga hal inilah -sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah- merupakan pokok-pokok ajaran agama. Ini artinya, bangunan agama yang ada pada diri seseorang akan menjadi kuat atau lemah tergantung kepada ilmu tentang ketiganya; mengenal Allah, mengenal agama Islam dan mengenal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka wajarlah, apabila Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah kemudian menulis sebuah risalah kecil 'Tsalatsatul Ushul' untuk mengenalkan pokok-pokok yang agung ini kepada segenap kaum muslimin.


Kenyataan ini juga menunjukkan kepada kita bagaimana para ulama salaf -dengan bimbingan Allah- sedemikian mengenal karakter jiwa dan perangai manusia. Mereka itu -sebagaimana digambarkan oleh Imam Ahmad di dalam mukadimah kitabnya ar-Radd 'alal Jahmiyah dan dinukil oleh Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Kitab Tauhidnya- merupakan sosok pahlawan yang telah 'menghidupkan' hati-hati manusia yang telah binasa dan terjajah oleh Iblis melalui ayat-ayat Kitabullah yang mereka baca dan mereka terangkan isinya kepada umat manusia. Sehingga hati manusia yang sebelumnya gersang, tandus dan kering kerontang pun tersirami dengan tetes demi tetes bimbingan wahyu ilahi sehingga memunculkan tanda-tanda kehidupan kembali... Allahul musta'aan.


Bersambung insya Allah...

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (3)



MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (3)
oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
pada 10 Maret 2011 jam 9:09




Keagungan Ma'rifatullah


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya fiqih tentang nama-nama Allah yang terindah (al-Asma' al-Husna) adalah sebuah bidang ilmu yang sangat utama, bahkan ia merupakan fiqih yang terbesar. Ilmu ini menduduki posisi pertama-tama dan terdepan dalam kandungan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (Muttafaq 'alaih). Ia merupakan sebaik-baik perkara yang semestinya digapai selama hidup, sebaik-baik ilmu yang digali dan diraih oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan dan akal yang terbimbing. Bahkan ia merupakan puncak tertinggi yang menjadi target untuk berlomba-lomba dan ujung cita-cita yang menjadi tujuan bagi orang-orang yang saling bersaing dalam kebaikan. Ia merupakan pilar perjalanan hidup menuju Allah dan pintu gerbang yang tepat untuk menggapai cinta dan ridha-Nya. Ia merupakan jalan yang lurus yang ditempuh oleh orang-orang yang dicintai Allah dan dipilih-Nya.” (Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 11)


Fiqih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan pondasi agama seorang hamba. Sebab ia merupakan bagian utama dalam keimanan kepada Allah. Inilah pondasi yang tidak boleh dilupakan dan pilar agama yang tidak layak diabaikan. Pondasi amalan ada dua -sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah- yaitu:


Mengenal Allah dengan benar, memahami perintah-perintah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya


Memurnikan ketundukan kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada selainnya. Kedua hal inilah pondasi paling kuat yang akan melandasi bangunan agama seorang hamba. Kekuatan dan ketinggian agama seseorang akan tergantung pada kekuatan dua hal ini (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 12)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur'an terdapat penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya yang jauh lebih banyak daripada ayat-ayat yang di dalamnya terkandung penyebutan mengenai makan, minum dan pernikahan di surga. Ayat-ayat yang mengandung penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya itu lebih agung kedudukannya daripada ayat-ayat tentang hari kiamat. Ayat paling agung di dalam al-Qur'an adalah ayat Kursi yang mengandung ayat-ayat semacam itu...” (Dar'u at-Ta'arudh, sebagaimana dinukil dalam Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 13-14)


Mengenal dan merenungkan keagungan nama-nama dan sifat-sifat Allah termasuk inti dakwah para nabi dan rasul. Diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu berporos pada tiga perkara:


Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya


Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir kepada-Nya, bersyukur dan beribadah kepada-Nya


Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima sesampainya mereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang paling utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan memandang wajah-Nya dan Allah pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 16-17)


Mengenal Allah merupakan sebuah kenikmatan tiada tara yang banyak tidak dirasakan oleh manusia. Sebagian ulama salaf berkata, “Orang-orang yang malang di antara penduduk dunia ini adalah mereka yang keluar darinya -dari dunia- dan tidak sempat mencicipi kenikmatan paling lezat di dalamnya.” Lantas ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan paling lezat yang ada di dalamnya?”. Dia menjawab, “Mengenal Allah, mencintai-Nya dan merasa tentram dengan mendekatkan diri kepada-Nya serta rindu untuk berjumpa dengan-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 21)


Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan mengenal Allah di sini bukanlah sekedar wawasan, dimana orang yang taat maupun orang bejat sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud adalah pengenalan yang diiringi dengan perasaan malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, takut kepada-Nya, bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa tentram dengan-Nya, dan rela meninggalkan makhluk demi mengabdi kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 22)


Melupakan perenungan terhadap nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya termasuk tindakan melupakan Allah ta'ala. Sungguh ini merupakan perbuatan yang sangat tercela. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun membuat mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19). Barangsiapa yang melupakan Allah, maka akan membuatnya lupa akan jati dirinya sendiri, lupa akan kemaslahatan hidupnya di dunia maupun di akherat, tidak mengetahui sebab-sebab yang akan mengantarkan dirinya menuju kebahagiaan di dunia dan di akherat... (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 25). Aduhai betapa malangnya orang semacam ini!


Yang dimaksud 'melupakan Allah' itu meliputi:


Meninggalkan perintah Allah, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Baghawi dan Ibnul Jauzi rahimahumallah dalam tafsirnya


Meninggalkan dzikir/mengingat Allah, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya


Tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benarnya dan tidak merasa takut kepada-Nya, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam tafsirnya


Meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya (lihat tafsiran-tafsiran di atas di dalam software Maktabah asy-Syamilah)


Oleh sebab itu, tidak selayaknya bagi kaum muslimin, apalagi para penuntut ilmu untuk meremehkan pembahasan atau kajian mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah. Karena ini merupakan fiqih akbar yang akan mengenalkan kita dengan Rabb yang kita sembah, Rabb yang telah melimpahkan sekian banyak nikmat kepada kita, Rabb yang kalaupun menimpakan musibah kepada kita itupun karena hikmah dari-Nya, Rabb yang akan mengingat dan menolong kita selama kita mau mengingat dan membela agama-Nya.


Bersambung insya Allah...