Laman

Senin, April 04, 2011

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (9)


MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (9)

oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
pada 20 Maret 2011 jam 7:34.

Pilar-Pilar Penghambaan


Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Akan tetapi ternyata kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara akherat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. al-A'la: 16-17). Allah juga berfirman mengenai seruan seorang rasul yang sangat menghendaki kebaikan bagi kaumnya (yang artinya), “Wahai kaumku, ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepada kalian jalan petunjuk. Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (yang semu), dan sesungguhnya akherat itulah tempat menetap yang sebenarnya.” (QS. Ghafir: 38-39) (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 260). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Neraka itu diliputi oleh perkara-perkara yang disukai oleh hawa nafsu, sedangkan surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disukai -oleh nafsu-.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tali keimanan yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya disahihkan al-Albani dalam takhrij Kitabul Iman karya Ibnu Taimiyah).


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Segala sesuatu selain Dzat yang memang harus dicintai dengan sebenarnya maka ia merupakan sosok yang dicintai karena faktor yang lain. Tiada sesuatu yang bisa dicintai semata-mata karena dirinya selain daripada Allah saja. Maka segala sesuatu selain-Nya yang layak dicintai adalah dengan mengikuti kecintaan kepada Rabb (Allah) tabaraka wa ta'ala, seperti contohnya mencintai para malaikat-Nya, nabi-nabi-Nya, dan wali-wali-Nya. Itu semua merupakan bagian dari kecintaan kepada-Nya dan konsekuensi kecintaan kepada-Nya. Karena kecintaan kepada sosok yang dicintai mengharuskan mencintai apa-apa yang dicintai oleh sosok yang dicintai tersebut…" (ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 218).


Dalam mencintai Allah, seorang hamba harus mengiringinya dengan pengagungan dan ketundukan mutlak kepada-Nya. Pengagungan terhadap Allah itulah yang akan memunculkan rasa takut kepada-Nya. Sebagaimana halnya rasa cinta akan membuahkan rasa harap kepada-Nya. Oleh sebab itu para ulama mengatakan bahwa hakekat ibadah yang dituntut oleh Allah untuk kita lakukan adalah perendahan diri dan kepatuhan kepada Allah yang dilandasi oleh rasa cinta yang terdalam. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memaparkan bahwa hakekat ibadah adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi cinta dan pengagungan; diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).


Orang yang mengaku cinta kepada Allah tapi tidak mengagungkan aturan-Nya maka tidak disebut beribadah kepada-Nya. Sebagaimana pula orang yang tunduk melakukan aturan Allah -secara lahir- namun tidak mencintai-Nya dengan tulus -secara batin- juga bukan termasuk orang yang beribadah kepada-Nya; seperti halnya keadaan orang-orang munafik. Sehingga cinta, harap, dan takut merupakan tiga pilar utama ibadah yang harus tertanam kuat di dalam hati manusia. Barangsiapa yang melepaskan salah satunya niscaya ibadahnya tidak akan mendapatkan keridhaan Allah ta'ala. Para ulama mengatakan, "Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta belaka, maka dia adalah seorang zindiq/sufi. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa takut saja, maka dia adalah haruri/khawarij. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan harap saja, maka dia adalah murji'ah. Dan barangsiapa yang beribadah dengan cinta, takut, dan harap maka dialah mukmin muwahhid yang sejati."


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh sebuah perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da'i yang menyeru kepada-Nya akan tetapi kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian kamu tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu tidak mau meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan bahwa Dia merupakan sosok yang paling kamu perlukan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dirimu dari-Nya.” (al-Fawa'id, hal. 45)


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya maka hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada keinginan hawa nafsunya. Hati yang begitu terpikat dengan syahwat akan terhalangi dari Allah sesuai dengan kadar ketergantungan hati itu kepadanya. Hati merupakan bejana -untuk mengenal- Allah di atas muka bumi yang diciptakan-Nya. Hati yang paling dicintai-Nya adalah hati yang paling lembut, paling kuat, dan paling jernih. Aduhai, mengapa mereka menyibukkan hati mereka dengan dunia. Seandainya mereka mau menyibukkan diri dengan -kecintaan kepada- Allah dan -persiapan menyambut- hari akherat niscaya akan tampak dengan jelas bagi mereka keagungan makna firman-Nya dan kebesaran ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan, selain itu dia akan mampu memetik berbagai hikmah yang jarang didapatkan dan memperoleh pelajaran-pelajaran yang sangat berharga.” (al-Fawa'id, hal. 95)


Syaikh as-Sa'di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “...Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya...” (al-Qaul al-Mufid 'ala Kitab at-Tauhid [2/3])


Ibnul Qayyim berkata, “Cinta yang terpuji adalah cinta yang bermanfaat, yaitu kecintaan yang mendatangkan manfaat bagi pemiliknya di dunia dan di akheratnya. Cinta semacam inilah yang menjadi sinyal kebahagiaan. Adapun cinta yang berbahaya adalah yang mendatangkan bahaya baginya di dunia dan di akheratnya, dan itu merupakan sinyal kebinasaan dirinya.” (ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 229). Kecintaan yang bermanfaat itu meliputi: [1] cinta kepada Allah -yang benar, bukan sekedar pengakuan tanpa bukti-, [2] mencintai apa yang Allah cintai, [3] cinta karena Allah (hubb lillah wa fillah) artinya mencintai orang karena ketaatannya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 97 dan ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 214).


Syaikh Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya rasa cinta kepada sesuatu merupakan cabang dari pengenalan terhadapnya. Maka manusia yang paling mengenal Allah adalah orang yang paling cinta kepada-Nya. Setiap orang yang --benar-benar--mengenal Allah pastilah mencintai-Nya. Dan tidak ada jalan untuk menggapai ma'rifat ini kecuali melalui pintu ilmu mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Tidak akan kokoh ma'rifat seorang hamba terhadap Allah kecuali dengan berupaya mengenali nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang disebutkan di dalam al-Qur'an maupun as-Sunnah...” (Mu'taqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Tauhid al-Asma' wa as-Shifat, hal. 16)


Puncak kelezatan di akherat yang diperoleh seorang hamba kelak adalah tatkala melihat wajah-Nya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila penduduk surga telah masuk surga.” Nabi berkata, “Maka Allah tabaraka wa ta'ala berfirman, 'Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan dari-Ku?'. Mereka menjawab, 'Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?'.” Nabi berkata, “Maka Allah pun menyingkapkan hijab -yang menutupi wajah-Nya-. Dan tidaklah ada kenikmatan yang diberikan kepada mereka yang lebih mereka sukai daripada memandang Rabb mereka 'azza wa jalla.” (HR. Muslim)


Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Ketika hari itu wajah-wajah berseri, mereka memandang kepada Rabb mereka.” (QS. al-Qiyamah: 22-23). Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma, beliau menafsirkan ayat ini, “Yaitu melihat wajah Rabb mereka 'azza wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Bagi mereka -penduduk surga- apa saja yang mereka inginkan di dalamnya -di surga- dan di sisi Kami masih ada tambahan -nikmat-.” (QS. Qaaf: 35). ath-Thabari meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik radhiyallahu'anhuma, mereka mengatakan, “Maksudnya -tambahan nikmat- adalah memandang wajah Allah 'azza wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Inilah yang dipahami oleh para sahabat, di antaranya: Abu Bakar, Hudzaifah, dan Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 191).


Sementara hal itu -kelezatan memandang wajah-Nya- tidak akan bisa diperolehnya kecuali setelah merasakan kelezatan paling agung di dunia, yaitu dengan mengenal Allah dan mencintai-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan surga dunia yang akan senantiasa menyejukkan hati hamba-hamba-Nya (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 261). Hati seorang hamba akan menjadi hidup, diliputi dengan kenikmatan dan ketentraman apabila hati tersebut adalah hati yang senantiasa mengenal Allah, yang pada akhirnya membuahkan rasa cinta kepada Allah lebih di atas segala-galanya (lihat Mu'taqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah fi Tauhid al-Asma' wa as-Shifat, hal. 21).


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman...” Di antaranya, “Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Rabi' bin Anas mengatakan sebuah ungkapan dari sebagian sahabatnya, “Tanda cinta kepada Allah adalah banyak berdzikir/mengingat kepada-Nya, karena sesungguhnya tidaklah kamu mencintai apa saja kecuali kamu pasti akan banyak-banyak menyebutnya.” (dinukil dari Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 559). Ibnu Rajab al-Hanbali berkata, “Dzikir merupakan sebuah kelezatan bagi hati orang-orang yang mengerti.” Malik bin Dinar mengungkapkan, “Tidaklah orang-orang yang merasakan kelezatan bisa merasakan kelezatan [yang lebih nikmat] seperti yang dirasakan dengan mengingat Allah.” (dinukil dari Jami' al-'Ulum wa al-Hikam, hal. 562).


Saudaraku, sudah menjadi tabiat manusia untuk menyukai sesuatu yang menyenangkan dan menentramkan jiwa mereka. Oleh sebab itu, banyak orang rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan menguras tenaganya, atau bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan jiwa. Namun, ada sebuah fenomena memprihatinkan yang sulit sekali dilepaskan dari upaya ini. Seringkali kita jumpai manusia memakai cara-cara yang dibenci oleh Allah demi mencapai keinginan mereka.


Ada di antara mereka yang terjebak dalam jerat harta. Ada yang terjebak dalam jerat wanita. Ada yang terjebak dalam hiburan yang tidak halal. Ada pula yang terjebak dalam aksi-aksi brutal atau tindak kriminal. Apabila permasalahan ini kita cermati, ada satu faktor yang bisa ditengarai sebagai sumber utama munculnya itu semua. Hal itu tidak lain adalah karena manusia tidak lagi menemukan ketenangan dan kepuasan jiwa dengan berdzikir dan mengingat Allah ta'ala.


Padahal, Allah ta'ala telah mengingatkan hal ini dalam ayat (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra'd: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih mengenai makna 'mengingat Allah' di sini adalah mengingat/merenungi kandungan al-Qur'an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur'an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku mengetahui orang yang paling terakhir keluar dari neraka dan orang yang paling terakhir masuk surga. Dia adalah seorang lelaki yang keluar dari neraka sembari merangkak. Allah tabaraka wa ta'ala berkata kepadanya, 'Pergilah kamu, masuklah ke dalam surga.' Kemudian diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali dan berkata, 'Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.' Allah tabaraka wa ta'ala berfirman kepadanya, 'Pergilah, masuklah kamu ke surga.'.” Nabi berkata, “Kemudian diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali dan berkata, 'Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.' Allah tabaraka wa ta'ala berfirman kepadanya, 'Pergilah, masuklah kamu ke surga. Sesungguhnya kamu akan mendapatkan kenikmatan semisal dunia dan sepuluh kali lipat yang sepertinya' atau –Nabi mengatakan-- 'Kamu akan memperoleh sepuluh kali lipat kenikmatan dunia'.” Nabi berkata, “Orang itu pun berkata, 'Apakah Engkau hendak mengejekku, ataukah Engkau hendak menertawakan diriku, sedangkan Engkau adalah Sang Raja?'.” Ibnu Mas'ud berkata, “Sungguh, ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya.” Periwayat berkata, “Maka orang-orang pun menyebut bahwa dialah sang penghuni surga yang paling rendah kedudukannya.” Dalam riwayat lain disebutkan: Maka Ibnu Mas'ud pun tertawa, lalu berkata, “Apakah kalian tidak bertanya kepadaku mengapa aku tertawa?”. Mereka menjawab, “Mengapa engkau tertawa?”. Beliau menjawab, “Demikian itulah tertawanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. -Ketika itu- mereka -para sahabat- bertanya, 'Mengapa anda tertawa wahai Rasulullah?'. 'Disebabkan tertawanya Rabbul 'alamin tatkala orang itu berkata, 'Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabbul 'alamin?'. Lalu Allah berfirman, 'Aku tidak sedang mengejekmu. Akan tetapi Aku Maha kuasa melakukan segala sesuatu yang Kukehendaki.'.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Inilah bukti kebenaran firman Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123). Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur'an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, hal. 49). Syaikh as-Sa'di rahimahullah menerangkan, bahwa ungkapan 'mengikuti petunjuk Allah' itu meliputi: [1] Membenarkan berita yang datang dari-Nya, [2] Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman, [3] Mematuhi perintah, [4] Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 515)


Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Adapun barangsiapa yang merasa takut terhadap kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari memperturutkan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal untuknya.” (QS. an-Nazi'at: 40-41). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad).


Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), "Pada hari (kiamat) ketika tidak lagi bermanfaat harta maupun keturunan, kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat." (QS. asy-Syu'araa' : 88-89). Untuk memperjelas kandungan ayat yang mulia ini, marilah kita simak keterangan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya… Artinya; tidaklah berguna harta yang dimiliki oleh seorang manusia -meskipun dia berikan emas sepenuh isi bumi- untuk menebus adzab Allah, demikian juga anak keturunannya bahkan meskipun seluruh manusia yang ada di muka bumi ini dia pergunakan untuk menebus adzab itu niscaya tidak akan diterima oleh Allah. Sebab pada hari itu tidak ada yang bermanfaat selain keimanan kepada Allah, keikhlasan dalam beragama kepada-Nya, dan juga sikap berlepas diri dari kesyirikan dan pelaku-pelakunya. Oleh karena itu Allah menyatakan (yang artinya), "kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat" maknanya; selamat dari kotoran dosa dan kesyirikan. Muhammad bin Sirin mengatakan, "Hati yang selamat bisa menyadari bahwa Allah adalah (sesembahan) yang haq. Dan meyakini bahwa hari kiamat itu pasti datang tanpa ada keraguan padanya, dan Allah pasti membangkitkan orang-orang yang sudah terkubur." Sedangkan Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma menjelaskan makna "kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat" artinya, "Hati tersebut hidup dan mempersaksikan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah." Sementara Mujahid dan Al-Hasan menerangkan bahwa makna hati yang selamat yaitu bersih dari syirik. Sa'id bin al-Musayyib melengkapi bahwa makna hati yang selamat adalah hati yang sehat; yaitu hati seorang mukmin, karena hati orang kafir dan munafik adalah hati yang sakit. Sebagaimana hal itu Allah sebutkan (dalam ayat yang artinya), "Di dalam hati mereka terdapat penyakit." (QS. al-Baqarah : 10). Sedangkan Abu Utsman an-Naisaburi mengatakan, "Hati yang selamat itu adalah hati yang bersih dari bid'ah dan merasa tentram di atas as-Sunnah." (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, 6/48).


Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa hati tidak akan benar-benar bisa selamat kecuali jika terbebas dari lima hal; [1] syirik yang memupuskan tauhid, [2] bid'ah yang menyimpangkan dari as-Sunnah, [3] menuruti keinginan nafsu yang membuat berpaling dari perintah (syari'at), [4] kelalaian yang membuat dzikir terbengkalai, [5] hawa nafsu yang mengikis kemurnian ibadah dan keikhlasan (lihat ad-Daa' wa ad-Dawaa', hal. 138).


Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan (Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Albani, hal. 274-275), "Ketahuilah, sesungguhnya hati bisa hidup dan bisa mati, bisa sakit dan bisa sehat. Hati merupakan unsur (non-fisik) yang paling agung di dalam tubuh. Allah ta'ala berfirman (yang artinya, "Apakah sama antara orang yang dahulunya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di antara manusia, dengan orang yang senasib dengannya namun tetap terkungkung di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya." (QS. al-An'am : 122). Maksudnya orang tersebut sebelumnya mati karena tenggelam dalam kekafiran, kemudian Kami (Allah) pun menghidupkan jiwanya dengan iman."


Beliau melanjutkan, "Hati yang sehat dan hidup apabila disodori kebatilan dan perkara-perkara yang buruk maka nalurinya akan mendorong untuk menjauhi hal itu dan membencinya serta tidak mau memperhatikannya. Berbeda keadaannya dengan hati yang mati. Hati yang mati tidak mampu membedakan baik dan buruk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, "Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara ma'ruf dan mungkar." Begitu pula halnya hati yang sakit karena terjangkit (dikuasai) syahwat. Maka hati (yang sakit) semacam itu -karena kelemahannya- akan condong kepada kebatilan dan keburukan yang disodorkan kepadanya sesuai dengan kadar kuat-lemahnya penyakit tersebut." (hal. 275)


Kemudian Ibnu Abil 'Izz rahimahullah memaparkan, "Penyakit hati ada dua macam, sebagaimana yang telah disinggung di depan : penyakit syahwat (keinginan yang terlarang) dan penyakit syubhat (penyimpangan cara berpikir). Penyakit yang paling buruk di antara keduanya adalah syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang terkait dengan masalah takdir. Terkadang hati itu menderita sakit dan semakin bertambah parah namun orangnya tidak menyadarinya. Hal itu bisa saja terjadi karena dia tidak mau mengenali hakekat kesehatan hatinya dan sebab-sebab untuk menjagaya. Bahkan terkadang hati seseorang mati namun dia tidak menyadari kematiannya. Ciri yang menunjukkan keadaan itu adalah tatkala [1] dosa yang timbul akibat melakukan perbuatan maksiat tidak lagi membuat hatinya terluka, begitu pula [2] ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidak mengertiannya mengenai aqidah yang keliru sudah tidak terasa menyakitkan baginya. Sebab apabila hati masih hidup tentu akan bisa merasakan sakit karena mengalirnya sesuatu yang buruk (dosa) kepadanya, dan merasa sedih dan terluka akibat kebodohan dirinya terhadap kebenaran, dan besarnya rasa sakit itu bergantung pada kadar kehidupan yang ada padanya. (Sebagaimana dikatakan oleh penyair), "Luka di tubuh mayit, tentu tidak terasa menyakitkan baginya."." (hal. 275)


Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi rahimahullah mengatakan, "Terkadang orang merasakan penyakit yang bersarang di dalam hatinya, namun dia mau menahan rasa pahit yang sangat demi menelan obat dan berusaha tetap sabar untuk menyembuhkan dirinya. Maka dia lebih menyukai merasa sakit karena proses pengobatan yang harus dijalaninya yang sedemikian susah (daripada membiarkan penyakitnya terus menjalar). Sesungguhnya obat untuk penyakit hati adalah dengan berjuang menyelisihi hawa nafsu. Padahal perkara itu -menyelisihi nafsu- adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat bagi jiwa manusia. Namun, memang tidak ada obat lain yang lebih manjur daripada obat itu. Terkadang, ketika berusaha untuk melatih jiwanya untuk sabar kemudian ternyata tekadnya memudar di tengah jalan sehingga hal itu membuatnya tidak mau lagi bertahan; karena begitu lemahnya ilmu, keyakinan, dan kesabaran dirinya. Hal itu sebagaimana halnya orang yang berusaha menempuh suatu jalan menuju daerah yang aman namun jalan itu diliputi dengan hal-hal yang menakutkan. Padahal, si penempuh jalan itu pun menyadari bahwa apabila dia mau bersabar niscaya rasa takut itu akan lenyap dan berakhir dengan rasa aman. Untuk itulah dia memerlukan kekuatan sabar dan keyakinan yang kokoh terhadap tujuan yang akan dicapai. Kapan saja sabar dan keyakinannya melemah, maka dia akan berputar haluan meninggalkan jalan itu dan tidak mau repot-repot merasakan beratnya kesulitan yang ada di sana. Apalagi jika tidak ada teman (baik) yang menyertainya sehingga dia merasa gentar berjalan sendirian (di atas kebenaran), maka dia pun mengeluh, "Di manakah orang-orang (baik) itu, di saat aku membutuhkan mereka; sehingga aku bisa meniru mereka!". Inilah keadaan yang menimpa kebanyakan orang, dan itulah penyebab kehancuran mereka. Sesungguhnya orang yang benar-benar sabar dan tulus tidak akan merasa gentar hanya karena sedikitnya teman ataupun karena kehilangan kawan; hal ini akan bisa dia rasakan ketika hatinya senantiasa merasakan kebersamaan (persahabatan) dengan generasi yang pertama, yaitu (sebagaimana makna firman Allah), "Orang-orang yang diberikan kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada' dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman." (QS. an-Nisaa' : 69)…." (hal. 275)


Beliau kembali menuturkan, "Tanda sakitnya hati adalah ketika dia berpaling dari mengkonsumsi asupan gizi yang bermanfaat dan cocok (bagi kesehatan hatinya) menuju asupan-asupan yang berbahaya, serta ketika dia berpaling meninggalkan obat yang manjur kepada obat yang membahayakannya. Maka di sini ada empat perkara : [1] asupan yang bermanfaat, [2] obat yang menyembuhkan, [3] asupan yang membahayakan, dan [4] obat yang membinasakan. Hati yang sehat akan memilih sesuatu yang bermanfaat dan menyembuhkan daripada sesuatu yang berbahaya dan menyakiti. Sedangkan hati yang sakit justru sebaliknya. Asupan paling bermanfaat adalah asupan iman, sedangkan obat paling bermanfaat adalah obat al-Qur'an, dan masing-masing dari keduanya (iman dan al-Qur'an) juga menyimpan asupan sekaligus obat. Sehingga orang yang menginginkan kesembuhan dengan selain (bimbingan) al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia tergolong ajhalul jaahiliin (orang yang paling bodoh) dan termasuk deretan adhalludh dhaalliin (orang yang paling sesat)…" (hal. 276).


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Menuntut ilmu termasuk amal kebaikan yang paling utama, sedangkan kebaikan-kebaikan itu akan melenyapkan kejelekan. Maka sangat layak jika menuntut ilmu karena mengharapkan wajah Allah menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa yang telah lalu. Dalil-dalil menunjukkan bahwa mengikuti kejelekan dengan kebaikan akan dapat menghapuskan kejelekan. Lantas bagaimanakah lagi dengan suatu amal yang tergolong kebaikan paling utama dan ketaatan yang paling mulia! Diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu, beliau pernah berkata, "Sesungguhnya ada seorang yang keluar dari rumahnya sedangkan dia menanggung dosa yang banyak sebagaimana bukit Tihamah, tatkala dia mendengar ilmu (disampaikan) maka dia pun merasa takut, kembali (taat) dan bertaubat. Maka pulanglah dia ke rumahnya dalam keadaan bersih dari dosa. Oleh sebab itu janganlah kalian memisahkan diri dari majelis para ulama." (al-'Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 80).


Sebagian orang bijak berkata, "Bukankah apabila orang yang sakit itu dihalangi dari makan dan minum serta tidak mengkonsumsi obat maka dia akan mati?". Mereka (teman-temannya) menjawab, "Benar." Lalu dia mengatakan, "Maka demikian pula hati; apabila ia terhalangi dari memperoleh ilmu dan hikmah selama tiga hari niscaya hati itu juga mati." (lihat al-'Ilmu, fadhluhu wa syarafuhu, hal. 144).


Bersambung insya Allah...






.

MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (8)


MENGGAPAI MA'RIFATULLAH (8)
oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi
pada 16 Maret 2011 jam 15:34.

Memandang Diri Dengan Benar

Manusia sangat menyukai kesenangan dunia, baik berupa kesehatan, harta, keturunan, ataupun kedudukan/pangkat. Mereka sangat membanggakannya dan sering menjadikannya sebagai simbol keberhasilan. Oleh sebab itu mereka sangat sedih dan kerapkali berputus asa tatkala berbagai kesenangan itu lenyap darinya. Mereka tidak bisa bersabar ketika mendapatkan musibah yang ditakdirkan-Nya. Sebaliknya, tatkala berhasil mendapatkannya kembali, mereka merasa seolah-olah dirinyalah yang paling berhak menikmatinya. Mereka meremehkan dan melecehkan orang lain yang ada di sekitarnya karena tidak mencapai 'keberhasilan' seperti yang dia dapatkan. Mereka tidak bisa bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat yang dilimpahkan oleh-Nya.


Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian (rahmat itu) Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata; 'Telah hilang bencana itu dariku.' Sesungguhnya dia (merasa) sangat gembira dan bangga, kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 9-11).


Di dalam ayat yang mulia ini, Allah menceritakan tentang tabiat buruk manusia yang bodoh lagi suka melakukan kezaliman. Tatkala Allah menganugerahkan kepadanya sebagian dari rahmat-Nya berupa kesehatan, rezeki yang melimpah atau anak-anak yang menyenangkan hati dan semacamnya lalu Allah pun mencabut hal itu darinya, dia bersikap putus asa dan berpangku tangan, tidak mengharapkan pahala dari Allah (atas musibahnya). Tidak pernah terbersit dalam pikirannya bahwa kelak Allah akan mengembalikan sesuatu yang hilang itu kepada dirinya, menggantikannya dengan yang serupa atau bahkan sesuatu yang lebih baik darinya.


Demikian pula, apabila Allah melimpahkan kepadanya rahmat/kemudahan setelah dirundung kesulitan maka diapun terlalu gembira dan bangga. Dia mengira keadaan itu akan terus-menerus dialaminya, sampai-sampai dia berkata, “Semua bencana telah luput dariku.” Ini menunjukkan dirinya terlalu gembira dan bangga. Dia merasa senang dengan suatu karunia/nikmat yang cocok dengan hawa nafsunya. Dia merasa angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Itulah yang membuatnya semakin congkak, sombong, ujub akan diri sendiri dan angkuh kepada orang lain, suka merendahkan dan melecehkan mereka.


Inilah karakter yang melekat pada jiwa manusia kecuali pada orang-orang yang diberi taufik oleh Allah untuk bersabar ketika mendapatkan musibah -sehingga tidak berputus asa- dan bersyukur ketika mendapatkan nikmat -sehingga dia tidak bersikap angkuh- dan dia tetap konsisten mengerjakan amal-amal salih yang wajib maupun yang sunnah. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan memperoleh balasan pahala yang sangat besar berupa surga beserta segala macam kenikmatan yang diinginkan jiwa manusia (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 396)


Contoh orang yang larut dengan 'keberhasilan'nya dan angkuh dengan kenikmatan yang diberikan Allah kepadanya adalah Qarun. Dia berkata dengan nada sombong dan angkuh, sebagaimana diceritakan dalam ayat (yang artinya), “Dia (Qarun) berkata, 'Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.'...” (QS. al-Qashash: 78). Dia mengira bahwa dirinya memang orang yang berhak dan paling pantas mendapatkan itu semua. Oleh sebab itu dia menolak mentah-mentah nasehat dari kaumnya untuk tidak hanyut oleh kesenangan dunia sehingga melupakan urusan akherat. Dalam pandangannya, kekayaan materi itulah bukti pemuliaan dan kecintaan Allah kepada dirinya. Allah tidak tinggal diam terhadap hal ini. Allah membantah persangkaan Qarun ini dengan firman-Nya (yang artinya), “Tidakkah dia (Qarun) tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta...” (QS. al-Qashash: 78) (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 684)


Berbeda halnya dengan orang yang mengerti jati dirinya dan memahami keagungan Rabbnya. Dia mengakui bahwa nikmat yang dia peroleh adalah ujian dari Rabbnya. Dia merasa khawatir kalau-kalau tidak bisa menunaikan syukur kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Sulaiman 'alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Maka ketika dia (Sulaiman) melihat Singgasana (Ratu Balqis) itu terletak di hadapannya, dia pun berkata; 'Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia besyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya Mahamulia.'.” (QS. an-Naml: 40). (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 662)


Tatkala seorang hamba telah kehilangan dua buah ilmu ini -ilmu tentang hakekat dirinya dan ilmu tentang keagungan hak Rabbnya- maka pupuslah harapan untuk menggapai kebahagiaan yang sebenarnya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang hamba akan sampai pada tujuannya -dengan meniti jalan yang lurus- adalah dengan merealisasikan kedua macam ma'rifat ini baik dalam bentuk ilmu maupun keadaan/sikap hidup, sedangkan keterputusannya -untuk bisa menggapai tujuan- adalah karena dia kehilangan keduanya. Inilah kandungan makna ucapan mereka -sebagian orang bijak-, 'Barangsiapa yang mengenal -hakekat- dirinya niscaya akan mengenali -keagungan- Rabbnya'...” (al-Fawa'id, hal. 133)


Banyak kita temukan gambaran pribadi teladan lainnya --yang sangat mengenal jati dirinya dan mengerti keagungan hak Rabbnya-- di dalam untaian ayat-ayat al-Qur'an. Di antaranya adalah apa yang digambarkan Allah ta'ala di dalam ayat (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa saja yang mampu mereka persembahkan sementara hati mereka merasa takut; bagaimanakah nasib mereka kelak ketika dikembalikan kepada Rabb mereka.” (QS. al-Mu'minun: 60). Aisyah radhiyallahu'anha -seorang istri Nabi yang sangat cerdas- bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai kandungan ayat ini, “Apakah mereka itu -yang merasa takut- adalah orang-orang yang suka minum khamr, berzina, atau mencuri?”. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bukan, wahai putri ash-Shiddiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang suka berpuasa, mengerjakan sholat, dan rajin bersedekah, namun mereka khawatir kalau-kalau amalan mereka itu tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan.” (HR. Tirmidzi, lihat Tsamrat al-'Ilmi al-'Amalu, hal. 17).


Mereka menyadari bahwa apa yang mereka persembahkan kepada Allah jauh daripada yang semestinya diterima oleh-Nya. Mereka tidak su'udzan kepada Allah, tetapi su'udzan kepada dirinya sendiri. Bagi mereka semua kebaikan yang mereka lakukan adalah berkat taufik dari-Nya, bukan hasil jerih payah mereka sendiri. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan dari-Nya. Kalaulah Allah menerima amal mereka itu jelas karena kemurahan dari-Nya. Namun, kalau misalnya tidak diterima oleh-Nya, maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan keteledoran diri mereka, sehingga apa yang mereka persembahkan tidak layak untuk-Nya (lihat al-Fawa'id, hal. 36). Demikianlah keadaan orang yang mengenal siapa dirinya dan siapa Rabbnya.


Jumlah pengikut yang banyak, organisasi yang mapan, kekuatan finansial yang besar, dan sarana yang serba lengkap terkadang membuat manusia lupa akan hakekat dirinya yang lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan Allah 'azza wa jalla. Acapkali 'perasaan besar' tersebut menyeret kepada bangga diri dan ujub dengan kemampuan dirinya. Seolah-olah semuanya sudah berada di bawah kendalinya. “Kemenangan sudah di pelupuk mata.” “Kita tidak akan kalah, jumlah kita banyak.” Dan ungkapan lain yang semakna sering muncul dari lisan mereka.


Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh, Allah telah menolong kalian dalam berbagai tempat yang banyak, demikian pula pada perang Hunain; ketika itu jumlah kalian yang sedemikian banyak telah membuat kalian ujub, namun ternyata jumlah yang banyak itu sama sekali tidak mencukupi bagi kalian, dan bumi yang luas pun menjadi terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian pun lari tunggang-langgang...” (QS. at-Taubah: 25). Ketika itu –pada peperangan Hunain-- sebagian di antara mereka -para sahabat- ada yang berkata, “Pada hari ini kita tidak akan kalah gara-gara jumlah yang sedikit.” Tatkala penyakit ujub itu menyelinap ke dalam hati mereka, maka Allah berikan pelajaran bagi mereka... Padahal, mereka itu adalah para Sahabat Nabi -orang-orang termulia di atas muka bumi setelah para nabi- sejumlah 12 ribu pasukan kaum muslimin kocar-kacir di awal pertempuran dalam menghadapi 4 ribu pasukan musyrikin dari kabilah Hawazin... (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 345). Sungguh pukulan yang sangat telak dan menjatuhkan mental kaum muslimin! Dimanakah jumlah yang besar yang dibanggakan itu? Kalau bukan karena pertolongan Allah, maka mereka sudah hancur berkeping-keping...!


Bagi orang-orang yang telah merasa dirinya besar, hebat dan kuat -dengan kekayaan, kedudukan, organisasi, yayasan, dan lain sebagainya- waspadailah penyakit ganas ini! Karena itu adalah sebab kehancuran. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada perasaan ujub dan terlalu memandang jasa diri sendiri...” (al-Fawa'id, hal. 147).


Bersambung insya Allah...






.