Laman

Minggu, Agustus 29, 2010

~ Terkagum pada Dunia ~

Sabtu, 28 Agustus 2010 18:00
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam - Tafsir Al Qur'an

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kalam-Nya, Al Qur’an sebagai penyejuk hati. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.



Sungguh diri ini kadang terkagum-kagum dengan dunia. Begitu terpesona sampai lupa daratan. Dunia pun dikejar-kejar tanpa pernah merasa puas. Sifat qona’ah, merasa cukup dengan setiap nikmat rizki pun jarang dimiliki. Demikianlah watak manusia. Inilah yang terjadi pada banyak orang, termasuk pula pada diri kami.


Dalam kesempatan kali ini, ada ayat yang patut jadi renungan. Semoga bisa menyejukkan hati. Hati yang terkagum-kagum pada dunia, semoga bisa tersadarkan diri. Ayat tersebut adalah firman Allah Ta’ala,



اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (20)


“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid: 20)


Beberapa faedah yang bisa kita gali dari ayat di atas:


Faedah pertama


Dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Karenanya Allah firmankan,



اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ


“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan”


Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam ayat lainnya,


زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ


“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imron: 14) Demikianlah Allah menyebutnya dalam rangka menyatakan bahwa dunia itu rendah.


Yang dimaksudkan dunia itu “la’ib” (permainan), adalah sesuatu yang batil. Sedangkan yang dimaksud “lahwu” (melalaikan), adalah segala sesuatu yang melalaikan dan pasti akan lenyap.[1]


Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, ”Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menceritakan mengenai bagaimanakah hakikat dunia yang sebenarnya. Diterangkan pula bagaimanakah berbagai tujuan dunia serta semangat manusia untuk menggapainya. Sungguh dunia ini benar-benar hanyalah mainan dan melalaikan. Badan jadi dibuat kepayahan dan hati pun dibuat lalai. Inilah realitas yang ada pada pengagung dunia. Lihat saja bagaimana pengagum dunia menghabiskan waktu dan umur mereka dalam hati yang penuh kelalaian, lalai dari dzikir pada Allah, juga lalai dari berbagai ancaman dan peringatan Allah. Lantas lihatlah mereka ketika mereka menjadikan agama sebagai candaan dan kesia-siaan. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang sadar akan dunia akhirat (yang pasti ia jumpai). Hati mereka akan senantiasa rindu berdzikir pada Allah, mengenal dan mencintai-Nya. Orang yang memperhatikan akhirat benar-benar akan beramal untuk mendekatkan diri mereka pada Allah.”[2]


Faedah kedua


Dunia ini hanyalah perhiasan. Allah Ta’ala berfirman,


اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ


“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan” Perhiasan yang dimaksud adalah pakaian, makanan, minuman, kendaraan, rumah, istana dan kedudukan. [3]


Faedah ketiga


Dunia jadi ajang berbangga di antara manusia, sibuk dengan memperbanyak harta dan begitu bangga dengan anak. Itulah yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,



وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ


“dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak”.


Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan, “Setiap pengagum dunia begitu saling berbangga satu dan lainnya. Inilah yang sering kita lihat. Mereka sangat ingin sekali tersohor dalam hal itu dari yang lainnya.”[4]


Beliau menjelaskan lagi, “Setiap pengagum dunia akan selalu berbangga dengan banyaknya harta dan anak dari yang lainnya. Ini suatu realitas pada pengagum dunia.”[5]


Lalu bagaimanakah sikap yang benar?


Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan kembali, “Hal ini berbeda dengan orang yang mengenal dunia dan hakikatnya. Ia hanya menjadikan dunia sebagai tempat berlalu, bukan negeri yang ia menetap selamanya. Dunia hanya dijadikan negeri sebagai ajang untuk saling berlomba mendekatkan diri pada Allah. Dunia hanya jadi sarana untuk sampai pada Allah. Jika ia melihat orang yang begitu bangga dan saling berlomba dalam harta dan anak, ia balas dengan berlomba (terdepan) dalam amalan sholih.”[6]


Kalimat terakhir yang dikatakan oleh Syaikh As Sa’di di atas hampir sama dengan ucapan Al Hasan Al Bashri:


إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة


“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam hal dunia, maka unggulilah dia dalam hal akhirat.”[7]


Faedah keempat


Dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman,


كَمَثَلِ غَيْثٍ


“seperti hujan”. Ghoits adalah hujan yang datang setelah sebelumnya manusia berputus asa dari turunnya[8]. Ghoits inilah yang disebutkan dalam firman Allah,



وَهُوَ الَّذِي يُنزلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا [وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ]


“Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah yang Maha pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syura: 28). Ghoits inilah hujan yang membuat manusia terkagum-kagum karena sudah begitu lama tak kunjung turun.


Faedah kelima


Orang yang terkagum pada dunia dimisalkan dengan orang yang terkagum pada ghoits. Ghoits adalah hujan yang begitu lama dinantikan, sehingga jika hujan tersebut turun, maka orang pun akan terkagum-kagum, merasa takjub. Demikianlah sifat pengagum dunia. Allah Ta’ala berfirman,



كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ


“seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani.”

Lihatlah bagaimana tanaman yang tumbuh dari hujan tersebut begitu dikagumi. Demikianlah orang kafir yang mengagumi dunia. Mereka begitu tamak pada dunia dan begitu condong padanya.[9]


Faedah keenam


Allah Ta’ala menjelaskan bagaimanakah sifat dunia. Bagaimanakah keadaan harta dan kemewahan dunia lainnya. Allah Ta’ala berfirman,



ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا


“kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur”


Allah Ta’ala menjelaskan bahwa nikmat dunia hanyalah nikmat dan perhiasan sementara yang akan sirna. Allah Ta’ala mensifatinya dengan tanaman yang terlihat kuning, padahal sebelumnya berwarna hijau nan ceria. Tanaman tersebut akhirnya pun hancur kering. Begitulah pula kehidupan dunia. Awalnya berada di masa muda, kemudian beranjak dewasa, lalu dalam keadaan lemah di usia senja. Manusia di masa mudanya begitu enak dipandang dan ia dalam kondisi fisik yang kuat. Kemudian ia pun beranjak dewasa dan berubahlah kondisi fisiknya. Lalu ia beranjak ke usia tua senja, ketika itu dalam keadaan lemah dan sulit untuk bergerak sebagaimana mudanya. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,



اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ


“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)[10]


Faedah ketujuh


Ayat di atas menunjukkan bahwa dunia pasti akan sirna. Akhirnya dunia adalah suatu keniscayaan. Akhirat suatu hal yang pasti akan kita temui, tanpa diragukan lagi. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menceritakan ancaman di akhirat dan juga memotivasi untuk meraih kebaikan di negeri yang kekal abadi. Allah Ta’ala berfirman,

 
وَفِي الآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ


“Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.” Di akhirat cuma ada dua kemungkinan, yaitu mendapatkan siksa ataukah mendapatkan ampunan dari Allah dan meraih keridhoaan-Nya.[11]

Faedah kedelapan

Dalam ayat ini kita diperintahkan untuk zuhud pada dunia dan lebih mementingkan akhirat[12]. Karena sungguh, kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Allah Ta’ala berfirman,


وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ



“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.


Disebutkan dalam sebuah hadits, dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَوْضِعُ سَوْطٍ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا


“Satu bagian kecil nikmat di surga lebih baik dari dunia dan seisinya.”[13]


Sungguh, nikmat dunia dibanding dengan nikmat akhirat amat jauh sekali. Namun kenapa kita lebih mengharap dunia dari akhirat? Mengapa kita lebih mengharap ridho manusia daripada ridho Allah?


Alhamdulillah, rampung sudah faedah berharga dari surat Al Hadiid ayat 20. Betapa indahnya jika bisa merenungkan ayat Al Qur’an di bulan suci ini.

Ayat ini adalah sebagai renungan bagi penulis sendiri agar jangan terlalu kagum dengan kehidupan dunia. Akhirat menunggumu di depan. Dunia dengan pasti akan engkau tinggalkan. Dunia hanyalah sebagai tempat untuk mengumpulkan bekal, yaitu mengumpulkan berbagai bekal dengan amalan menuju negeri kekal abadi di akhirat kelak. Jadi janganlah engkau sangka bahwa dunia ini adalah negeri yang akan engkau kekal abadi di dalamnya.


Semoga Allah memudahkan hamba yang faqir ini meraih surga-Nya, negeri yang kekal abadi penuh dengan berbagai nikmat-Nya.


Diselesaikan di Panggang-GK, 18 Ramadhan 1431 H (28 Agustus 2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.rumaysho.com


--------------------------------------------------------------------------------


[1] Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/156.


[2] Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1423 H, hal. 841.


[3] Idem.


[4] Idem.


[5] Idem


[6] Idem


[7] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 428


[8] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/428.


[9] Lihat Idem.


[10] Lihat Idem.


[11] Lihat idem.

[12] Taisir Al Karimir Rahman, hal. 841.


[13] HR. Bukhari no. 3250.



Kamis, Agustus 26, 2010

~ Jalan Yang Lurus Itu ~


August 25th, 2010

Author: Abu Mushlih

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan jalan yang lurus dan mengangkat hamba terkasih-Nya sebagai pemandu menuju-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Muhammad sebaik-baik nabi dan utusan, dan juga bagi para sahabat serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Amma ba’du.


Ayat-ayat al-Qur’an yang begitu indah dan menakjubkan, memberikan kepada kita gambaran yang jelas mengenai karakter dan hakekat jalan yang lurus. Jalan yang setiap hari kita mohon kepada Allah untuk ditunjuki kepadanya. Jalan yang akan mengantarkan penempuhnya menuju surga dan kebahagiaan, serta melemparkan orang yang melenceng darinya menuju neraka dan kesengsaraan.


Memadukan antara ilmu dan amal


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” (QS. al-Fatihah: 7).


Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa hakekat jalan yang lurus itu akan diperoleh dengan cara mengenali kebenaran dan mengamalkannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).


Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka orang yang diberi nikmat atas mereka yaitu orang yang berilmu sekaligus beramal. Adapun orang-orang yang dimurkai yaitu orang-orang yang berilmu namun tidak beramal. Sedangkan orang-orang yang tersesat ialah orang-orang yang beramal tanpa landasan ilmu.” (Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu, hal. 14). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa penyebab orang terjerumus dalam kesesatan ialah rusaknya ilmu dan keyakinan. Sedangkan penyebab orang terjerumus dalam kemurkaan ialah rusaknya niat dan amalan (lihat al-Fawa’id, hal. 21)


Memadukan antara tauhid dan ketaatan


Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).


Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (at-Tafsir al-Qayyim, hal. 116-117)


Dalam surat Maryam, Allah ta’ala juga memberitakan ucapan Isa ‘alaihis salam tersebut (yang artinya), “Dan sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 36).


Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa makna ‘sembahlah Dia’ adalah: ikhlaskan ibadah kepada-Nya, bersungguh-sungguhlah dalam inabah (taubat dan semakin taat) kepada-Nya. Di dalam ungkapan ‘Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian maka sembahlah Dia’ terkandung penetapan tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah, serta berargumentasi dengan tauhid yang pertama (rububiyah) untuk mewajibkan tauhid yang kedua (uluhiyah) (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 493)


Bahkan, Allah sendiri telah menegaskan bahwa tauhid dan ketaatan kepada-Nya inilah jalan yang lurus itu, bukan penyembahan dan ketaatan kepada syaitan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61). Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘mentaati syaitan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai syaitan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)


Perlu diingat, bahwa ketaatan kepada Rasul pada hakekatnya merupakan ketaatan kepada Allah, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang yang taat kepada Rasulullah dalam hal perintah dan larangannya sesungguhnya telah taat kepada Allah ta’ala. Karena rasul tidaklah memerintah dan melarang kecuali dengan perintah dari Allah, dengan syari’at dan wahyu dari-Nya. Sehingga hal ini menunjukkan ‘ishmah/keterpeliharaan diri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah memerintahkan taat kepada beliau secara mutlak (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 189)


Kata Kunci


Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat kata kunci agar seorang hamba bisa berjalan di atas jalan yang lurus, yaitu:


Ilmu, karena dengan ilmu ini maka dia akan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana tauhid mana syirik, mana sunnah mana bid’ah, mana taat mana maksiat, dst.


Amal, karena dengan mengamalkan ilmunya dia akan terbebas dari kemurkaan Allah, bahkan dia akan mendapatkan tambahan petunjuk karenanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, maka Allah akan menambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah berikan kepada mereka ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 17). Di dalam ayat yang mulia ini Allah menjanjikan dua balasan bagi orang yang mengikuti petunjuk (baca: mengamalkan ilmunya), yaitu: ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 787)


Tauhid, karena dengan memahami dan melaksanakan tauhid maka seorang hamba telah mewujudkan tujuan hidupnya dan berada di atas jalan yang akan mengantarkannya ke surga, jika dia istiqomah di atasnya hingga ajal tiba.


Taat, karena dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan berarti dia telah menunjukkan penghambaannya kepada Allah dan kepatuhannya kepada Rasulullah, sehingga dia akan mendapatkan keberuntungan -di dunia maupun di akherat- sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Allahu a’lam.

~ 8 Kemungkaran di Hari Raya ~

Rabu, 25 Agustus 2010 12:00


Hari raya ‘Idul Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan mungkar. Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.


Pertama: Tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir dalam berpakaian. Terutama kita lihat bagaimana model pakaian muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak mencerminkan bahwa mereka muslim ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat pakaian yang mereka kenakan. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda,


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[1] Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[2]


Kedua: Mendengarkan dan memainkan musik/nyanyian/nasyid di hari raya. Imam Al Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ - يَعْنِى الْفَقِيرَ - لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ


“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[3] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.[4] Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[5]


Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[6] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[7]

Ketiga: Wanita berhias diri ketika keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan firman Allah,



وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى


“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab: 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[8] Seharusnya berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak ramai.


Keempat: Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,


كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ


“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[9] Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram’.”[10]

 
Lihat pula bagaimana contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,


إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ


"Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita."[11]


Kelima: Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya 'ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ


“Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian.”[12] Namun tidaklah tepat diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri) adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.


Keenam: Tidak sedikit dari yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi. Kaum pria pun tidak memperhatikan shalat berjama'ah di masjid. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,



الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ


“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]


‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,

 
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ


“Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.”[14]


Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[15]


Adapun mengenai hukum shalat jama’ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di antara yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,



وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ


”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.[16]


Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,

 
وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ


“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[17]


Ketujuh: Begadang saat malam 'Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ied di pagi harinya. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,



أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[18]


Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[19]


Takbiran yang dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

 
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ


“Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.”[20] Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[21] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!


Kedelapan: Memeriahkan ‘Idul Fithri dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar. Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[22] Allah Ta’ala berfirman,

 
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ


“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27). Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.[23]


Akhir kata:


“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)


Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.


Disusun di pagi penuh barokah, di Panggang-Gunung Kidul, 15 Ramadhan 1431 H (25/8/2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.rumaysho.com


--------------------------------------------------------------------------------


[1] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.


[2] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H, 1/363.


[3] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.


[4] Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.


[5] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H, hal. 289.


[6] Lihat Talbis Iblis, 283.


[7] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.


[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 6/379-380.


[9] HR. Muslim no. 6925


[10] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Judai, Muassasah Ar Royan, cetakan ketiga, 1425 H, hal. 41.


[11] HR. Malik 2/982. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.


[12] HR. Muslim no. 976.


[13] HR. An Nasa’i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.


[14] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1426 H, hal. 41.


[15] Ash Sholah, hal. 7.


[16] HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.


[17] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 10

[18] HR. Bukhari no. 568


[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 3/278.


[20] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40


[21] Syarh Al Bukhari, 1/38.


[22] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/474-475.


[23] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474.

Rabu, Agustus 25, 2010

~ Nasi Lemak Citarasa Buah Hati ~




Alhamdulillah sampai kita di Ramadhan yang ke 14.....menu pilihan buah hati nasi lemak.....rasanya ada yang sama dengan negeri lain mungkin namanya berbeza.....cara memasak juggak ada perbezaan.....ana masak selera keluarga.....yang tidak gemar pedas.....biasanya sewaktu buah hati pulang pondok ini menu yang wajib....nasi lemak.....ayam berempah.....sambal tumis telur puyuh.....kangkong belacan.....ikan goreng.....



Resep untuk nasi lemak.....
beras dicuci seperti biasa....
bawang putih dikupas kulit dan dimasukkan.....
daun Pandan.....
santan & air .......mengikut sukat air di cooker.....
garam secukup rasa......
Dimasukkan kesemuanya.....dimasak atas cooker/ periuk nasi.....seperti masak nasi biasa.....



Ayam berempah harus dimasak diatas api yang kecil kerna ia mempunyai banyak bumbu maka ia cepat hagus....disukai garing dan rempah yang banyak......kelihatan rempahnya hitam tapi tidak pahit.....kerna bawang putih apabila menggoreng akan bertukar hitam......kesukaan buah hati.....semalam berulang kali Mundzir memakannya.....menjamu sedikit waktu buka.....lepas solat.....tarawih.....makan lagi dengan pesanan udah simpankan untuk sahar.....tersenyum sewaktu menikmatinya.....ini resep Ummu Rohana tantenya dari Johor Bahru.....sewaktu kami nginap di rumahnya beliau akan memasak berbagai menu yang baru dan pasti enak bangett....beliau pandai memasak....buah hati senang menginap di rumahnya kerna sewaktu pagi dikejutkan dengan bau makanan......seharian penuh beliau akan memasak berbagai masakkan mengikut citarasa buah hati......Jazakillahu khairon katsiran Ummu Rohana atas resep ini.......menjadi menu kegemaran buah hati.....


Resep ayam berempah.....
bawang kecil.....
halia/jahe.....
kunyit hidup.....
bawang putih....
telur......
garam secukup rasa.....
dikisar tidak menggunakan air kerna telur berfungsi sebagai air untuk mengisar.....
diperahkan dengan ayam dan digoreng atas api yang kecil......


Sambal tumis merupakan menu harian bagi orang singapura.....ia bisa dibubuh.....udang.....sotong.....ikan...
bagi buah hati sambal ini dibuat tidak begitu pedas kerna lada kering....digunting serong maka biji didalamnya keluar sewaktu merebus nya di atas api......lada kering harus di rendam dengan air panas atau bagi ana direbus lebih baik.....sambal tumis yang kosong digunakan dalam berbagai lauk-pauk lain....seperti sambal goreng.....


Resep sambal tumis....
bawang kecil.....
bawang putih....
belacan....
lada kering.....direbus dibuang airnya.....
air asam....sedikit....
garam secukup rasa......
gula secukup rasa....
dikisar semua bahan kemudian ditumis dengan minyak sehingga garing.....dan dimasukkan garam....gula berfungsi untuk mengurangkan pedas dan sambal menjadi merah.....air asam tergantung pada yang suka sedikit masam atau bisa juggak tidak dimasukkan.....

Mengenai lada kering.....afwan yang ini rasanya ana nggak pernah melihat di pasar mahupun supermarket di Bukit Tinggi.....Jogja...Solo......atau mungkin kurang mencarinya.....sewaktu Nov lepas kami di rumah kontrakkan di Solo kami bawa semua bumbu2 dari singapura kerna khuatir tidak bisa mendapatnya.....buah hati udah nggak sabar menunggu ummi nya masak di rumah kontrakkan......


Kangkong belacan sayur kegemaran Irfan.....sesuai dimakan dengan nasi putih....bubuh nasi......selalunya kangkong belacan juggak dimasakkan sewaktu menu ala seafood.....ala thailand......ala cina.....buah hati emang gemar berbagai jenis makanan.....


Resep kangkong belacan....
lada hidup....
bawang kecil....
bawang putih....
udang kering....
belacan.....
dikisar dan ditumis dengan minyak sehingga garing lantas dimasukkan fishball dan sayur.....

Selamat mencuba....citarasa keluarga.....


CITARASA KELUARGA....setiap resep yang dikeluarkan mungkin ada perbezaan cara memasakkan atau bahan2 yang digunakan.....ana masak mengikut citarasa keluarga ana.....bukan lah ana seorang pakar masak.....masih belajar....Alhamdulillah dihargai oleh suami dan buah hati.....bagi seorang istri dan ummi pada empat buah hati amat penting masakkan kita diterima oleh mereka......kerna mereka adalah pelanggan setia kita......

Teringat dulu sewaktu baru berumahtangga suami perlu bersabar akan istri nya yang tidak pandai memasak bagaimana tidak....di rumah ana dibesarkan tangan ini tidak dibenarkan memasak itu semua urusan umi ana.....setiap kali melangkah kaki ke dapur semua udah disiapkan oleh umi....sampai sekarang umi tetap kontrol dapur nya....kak ipar yang tinggal bersamanya berada dalam keadaan ana dulu.....tapi hujung minggu dicuba juggak memasak......sewaktu umi safar maka kak ipar berkarya didapur....he3...........

Di lubuk  hati tertanam.....harus belajar dan pandai.....sehingga suami dan buah hati memilih masakkan dari tangan ini dari warung atau......Alhamdulillah dipermudahkan Allah belajar memasak dalam masa yang singkat sebelum punya buah hati ana bisa memasak..... masakkan harian....dan berjalannya waktu bisa memasak berbagai masakkan.....Alhamdulillah.....zauji senang dengan masakkan.......buah hati selalu membawa teman2 pulang dan ummi nya berkarya.....Alhamdulillah dihargai.....selalu memasak merupakan kegiataan keluarga kerna semua didapur.....Irfan mencuci pinggan.....abinya menggoreng (sewaktu libur).....Zakirah menyiapkan.....Mundzir dan Nusaibah omongan yang tiada hentinya.......dan yang Best ditunggu Mundzir dan Nusaibah sewaktu merasa.....mereka memegang jawatan merasa....Irfan suka memasak dan mencuba resep baru.....yang paling sedapp masakkan Irfan FISH & CHIP......yang pasti setiap masakkan adalah karya ana untuk yang tersayang.....CITARASA KELUARGA.......

Selasa, Agustus 24, 2010

~ Tiga Pokok Kebahagiaan ~



August 23rd, 2010
Author: Abu Mushlih


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat. Sedangkan ketiga hal ini memiliki satu musuh yang sama yaitu kekosongan hati dari rasa harap di jalan [ketaatan kepada] Allah dan keinginan untuk mencapai balasan yang ada di sisi-Nya serta ketiadaan rasa takut terhadap-Nya dan hukuman yang dijanjikan di sisi-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 104)


Tauhid mengantarkan menuju bahagia


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-An’aam: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat (yang ikhlas), dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat (yang tidak ikhlas).”


Syirik mengantarkan menuju sengsara


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).


Sunnah mengantarkan menuju bahagia


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad); Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim). Imam Malik rahimahullah berkata, “Sunnah adalah [laksana] bahtera Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal akan tenggelam.”


Bid’ah mengantarkan menuju sengsara


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia justru mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya akan Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan -dalam agama-, [dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah] dan setiap bid’ah pasti sesat [dan setiap kesesatan di neraka].” (HR. Muslim, tambahan dalam kurung dalam riwayat Nasa’i)


Ketaatan mengantarkan menuju bahagia


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akherat.”


Kemaksiatan mengantarkan menuju sengsara


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi nafsu (ketaatan) sedangkan neraka diliputi dengan perkara-perkara yang disenangi nafsu (kemaksiatan).” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hilangnya harapan dan rasa takut


Sementara ketiga hal di atas -tauhid, sunnah, dan ketaatan- memiliki satu musuh yang sama yaitu ketiadaan rasa harap dan rasa takut. Yaitu ketika seorang hamba tidak lagi menaruh harapan atas apa yang Allah janjikan dan tidak menyimpan rasa takut terhadap ancaman yang Allah berikan. Akibat ketiadaan harap dan takut ini maka timbul berbagai dampak yang membahayakan. Di antara dampaknya adalah; [1] terlena dengan curahan nikmat sehingga lalai dari mensyukurinya, [2] sibuk mengumpulkan ilmu namun lalai dari mengamalkannya, [3] cepat terseret dalam dosa namun lambat dalam bertaubat, [4] terlena dengan persahabatan dengan orang-orang saleh namun lalai dari meneladani mereka, [5] dunia pergi meninggalkan mereka namun mereka justru senantiasa mengejarnya, [6] akherat datang menghampiri mereka namun mereka justru tidak bersiap-siap untuk menyambutnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa ketiadaan rasa harap dan takut ini bersumber dari lemahnya keyakinan. Lemahnya keyakinan itu timbul akibat lemahnya bashirah/pemahaman. Dan lemahnya bashirah itu sendiri timbul karena jiwa yang kerdil dan rendah (lihat al-Fawa’id, hal. 170).


Bersihkan jiwamu!


Jiwa yang kerdil dan rendah akan merasa puas dengan perkara-perkara yang hina, sementara jiwa yang besar dan mulia tentu hanya akan puas dengan perkara-perkara yang mulia (lihat al-Fawa’id, hal. 170). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh berbahagia orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yaitu orang yang menyucikan jiwanya dari dosa-dosa dan membersihkannya dari aib-aib, lalu dia meninggikannnya dengan ketaatan kepada Allah serta memuliakannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 926). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud penyucian di sini ialah dia menyucikan dirinya dengan cara membebaskannya dari syirik dan noda-noda maksiat, sehingga jiwanya menjadi suci dan bersih.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 165)


Dari sinilah, kita menyadari betapa besar peran ilmu yang diamalkan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa seusai sholat Subuh dengan doa yang sangat indah, Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan. Yang artinya; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan ilmu dan pemahaman seorang hamba tentang agamanya diukur dengan rasa takutnya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti ilmu -seseorang-.”


www.abumushlih.com


~ Serial Mudik (3), Tips Kembali dari Safar ~



Selasa, 24 Agustus 2010 00:00
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam - Amalan


Setelah sebelumnya kami mengkaji tips persiapan safar dan tips ketika safar, saat ini kita akan memberikan tips sekembali dari safar. Semoga sajian ini bermanfaat dan bisa diamalkan.


Pertama, memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga ketika ingin kembali dari safar. Bahkan tidak disukai jika datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan pada keluarga terlebih dahulu.


Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,






نَهَى النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً






“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari.”[1]


Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,






أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً






“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya datang dari bepergian pada pagi atau sore hari.”[2]


Kedua, berdo’a ketika kembali dari safar.


Do’a ketika kembali dari safar sama dengan do’a ketika hendak pergi safar yaitu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, kemudian membaca,






سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ






“Subhanalladzi sakhkhoro lana hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamunqolibuun[3]. Allahumma innaa nas’aluka fi safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh. Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk pada harta dan keluarga)


Dan ditambahkan membaca,






آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ






“Aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduun. Lirobbinaa haamiduun (Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami).”[4]


Ketiga, melakukan shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar.


Dari Ka’ab, beliau mengatakan,






أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ






“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar pada waktu Dhuha, beliau memasuki masjid kemudian beliau melaksanakan shalat dua raka’at sebelum beliau duduk.”[5]




Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Tatkala kami tiba di Madinah, beliau mengatakan padaku,






ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ






“Masukilah masjid dan lakukanlah shalat dua raka’at.”[6]


Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Semoga safar kita menjadi lebih berkah.


Direvisi ulang 13 Ramadhan 1431 H, 23 Agustus 2010 di Panggang-Gunung Kidul


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel www.rumaysho.com


--------------------------------------------------------------------------------
[1] HR. Bukhari no. 1801


[2] HR. Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1928.


[3] QS. Az Zukhruf: 13-14


[4] HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar


[5] HR. Bukhari no. 3088


[6] HR. Bukhari no. 3087

Senin, Agustus 23, 2010

~Jangan Berputus Asa Terhadap Sesuatu yang Luput Darimu~

Minggu, 22 Agustus 2010 16:00
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam - Tafsir Al Qur'an

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat dan menakdirkan segala sesuatu dengan penuh hikmah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.



Di pagi yang berbahagia, di bulan penuh berkah dan bulan semangat untuk mentadabburi Al Qur’an, ada sebuah ayat yang patut direnungkan oleh kita bersama. Ayat tersebut terdapat dalam surat Al Hadid, tepatnya ayat 22-23. Inilah yang seharusnya kita gali hari demi hari di bulan suci ini. Karena merenungkan Al Qur’an, meyakini dan mengamalkannya tentu lebih utama daripada sekedar membaca dan tidak memahami artinya.


Allah Ta’ala berfirman,



مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)


“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al Hadid: 22-23)


Berikut beberapa faedah yang bisa diperoleh dari ayat di atas:


Faedah pertama


Yang dimaksud dengan “lauh” adalah lembaran dan “mahfuzh” artinya terjaga. Kata Ibnu Katsir, Lauhul Mahfuzh berada di tempat yang tinggi, terjaga dari penambahan, pengurangan, perubahan dan penggantian.[1] Di dalam Lauhul Mahfuzh dicatat takdir setiap makhluk. Lauhul Mahfuzh dalam Al Qur’an biasa disebut dengan Al Kitab, Al Kitabul Mubin, Imamul Mubin, Ummul Kitab, dan Kitab Masthur.[2]


Faedah kedua


Setiap musibah dan bencana apa pun itu yang menimpa individu atau menimpa khalayak ramai, baik itu gempa bumi, kekeringan, kelaparan, semua itu sudah dicatat di kitab Lauhul Mahfuzh. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,



كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ


“Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[3]


Dalam hadits lainnya disebutkan,


إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ


“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin[4]) adalah qolam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya”[5]

 
Faedah ketiga


Takdir yang dicatat di Lauhul Mahfuzh tidak mungkin berubah sebagaimana maksud dari ayat yang kita bahas. Begitu pula disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,


رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ


“Pena telah diangkat dan lembaran catatan (di Lauhul Mahfuzh) telah kering”.[6]


Al Mubarakfuri rahimahullah berkata,


كُتِبَ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ مَا كُتِبَ مِنْ التَّقْدِيرَاتِ وَلَا يُكْتَبُ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهُ شَيْءٌ آخَرُ


“Dicatat di Lauhul Mahfuzh berbagai macam takdir. Ketika selesai pencatatan, tidaklah satu pun lagi yang dicatat.”[7]


Intinya, al kitabah (pencatatan) ada dua macam: (1) pencatatan yang tidak mungkin diganti dan dirubah, yaitu catatan takdir di Lauhul Mahfuzh; (2) pencatatan yang dapat diubah dan diganti, yaitu catatan di sisi para malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

 
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ


“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar Ro’du: 39). Catatan yang terakhir yang terjadi itulah yang ada di Lauhul Mahfuzh.


Dari sini kita bisa memahami berbagai hadits yang membicarakan bahwa silaturahmi (menjalin hubungan dengan kerabat) bisa memperpanjang umur dan melapangkan rizki, atau do’a bisa menolak takdir. Di sisi Allah, yaitu ilmu-Nya, Allah mengilmui bahwa hamba-Nya menjalin hubungan kerabat dan berdo’a kepada-Nya. Ini di sisi ilmu Allah. Lantas Allah Ta’ala mencatatnya di Lauhul Mahfuzh keluasan rizki dan bertambahnya umur.[8]


Artinya di sini, Allah Ta’ala telah mengilmi bahwa hamba-Nya melakukan silaturahmi atau berdo’a kepada-Nya. Demikian yang Allah catat di Lauhul Mahfuzh yaitu adanya keluasan rizki dan bertambahnya umur.


Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika ditanya apakah rizki yang telah ditakdirkan bisa bertambah dan berkurang, beliau rahimahullah menjawab, “Rizki itu ada dua macam. Pertama, rizki yang Allah ilmui bahwasanya Allah akan memberi rizki pada hamba sekian dan sekian. Rizki semacam ini tidak mungkin berubah. Kedua, rizki yang dicatat dan diketahui oleh Malaikat. Ketetapan rizki semacam ini bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan sebab yang dilakukan oleh hamba. Allah akan menyuruh malaikat untuk mencatat rizki baginya. Jika ia menjalin hubungan silaturahmi, Allah pun akan menambah rizki baginya.”[9]


Jadi sama sekali takdir yang ada di Lauhul Mahfuzh tidak berubah, yang berubah adalah catatan yang ada di sisi Malaikat, dan itu pun sesuai ilmu Allah Ta’ala.


Faedah keempat


Musibah yang terjadi di muka bumi dan terjadi pada diri manusia, itu telah dicatat di kitab sebelum diciptakannya makhluk. Inilah tafsiran yang lebih baik pada firman Allah,



إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا


“melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya”, yang dimaksud dengan menciptakannya di sini adalah penciptaan makhluk. Demikian dipilih oleh Ibnu Katsir rahimahullah. Pendapat ini didukung dengan riwayat dari Ibnu Jarir, dari Manshur bin ‘Abdirrahman, ia berkata, “Setiap musibah di langit dan di bumi telah dicatat di kitab Allah (Lauhul Mahfuzh) sebelum penciptaan makhluk.”[10]

 
Faedah kelima


Tidaklah suatu musibah itu terjadi kecuali disebabkan karena dosa. Qotadah rahimahullah mengatakan, “Telah sampai pada kami bahwa tidaklah seseorang terkena sobekan karena terkena kayu, terjadi bencana pada kakinya, atau kerusakan menimpa dirinya, melainkan itu karena sebab dosa yang ia perbuat. Allah pun dapat memberikan maaf lebih banyak.”[11]


Faedah keenam


Ayat ini adalah di antara dalil untuk menyanggah pemahaman Qodariyah yang menolak ilmu Allah yang telah dulu ada[12]. Artinya, Qodariyah meyakini bahwa Allah baru mengilmui setelah kejadian itu terjadi. Padahal sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,” Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” [13]


Faedah ketujuh


Maksud firman Allah,



إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ


“Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Yaitu Allah mengetahui segala sesuatu sebelum penciptaan sesuatu tersebut. Allah pun telah mencatatnya. Ini sungguh amat mudah bagi Allah karena Allah Maha Mengetahui sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang tidak terjadi dan mengetahui sesuatu yang tidak terjadi seandainya ia terjadi.[14] Sungguh Maha Luas Ilmu Allah.


Faedah kedelapan


Segala sesuatu yang telah ditakdirkan akan menimpa seseorang, tidak mungkin luput darinya. Segala sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya, tidak mungkin akan menimpanya. Inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,



وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ


“Hendaklah engkau tahu bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput darimu. Dan segala sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, pasti tidak akan menimpamu.”[15]


Jika demikian, tidak perlu seseorang merasa putus asa dari apa yang tidak ia peroleh. Karena jika itu ditakdirkan, pasti akan terjadi.[16] Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,


لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ


“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu”


Jika memang engkau kehilangan Hpmu yang berharga, tidak perlu bersedih karena inilah takdir yang terbaik untukmu. Siapa tahu engkau kelak akan mendapatkan ganti yang lebih baik. Engkau belum kunjung diangkat jadi PNS, jadi khawatir pula karena memang itu belum takdirmu. Engkau belum juga diterima di universitas pilihanmu, jangan pula khawatir karena takdir Allah sama sekali tidaklah kejam. Tidaklah perlu bersedih terhadap apa yang luput darimu.


Faedah kesembilan


Jangan pula terlalu berbangga dengan nikmat yang kita peroleh karena itu sama sekali bukanlah usaha kita. Itu semua adalah takdir yang Allah tetapkan dan rizki yang telah Allah bagi[17]. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,

 
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ


“Dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu”


Faedah kesepuluh


Janganlah menjadikan nikmat Allah sebagai sikap sombong dan membanggakan diri di hadapan lainnya. Itulah selanjutnya Allah Ta’ala berfirman,



وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ


“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”


Sebagai penutup dari sajian ini, ada penjelasan yang amat bagus dari Asy Syaukani rahimahullah. Beliau mengatakan, “Janganlah bersedih dengan nikmat dunia yang luput darimu. Janganlah pula berbangga dengan nikmat yang diberikan padamu. Karena nikmat tersebut dalam waktu dekat bisa sirna. Sesuatu yang dalam waktu dekat bisa sirna tidak perlu dibangga-banggakan. Jadi tidak perlu engkau berbangga dengan hasil yang diperoleh dan tidak perlu engkau bersedih dengan sesuatu yang luput darimu. Semua ini adalah ketetapan dan takdir Allah ... Intinya, manusia tidaklah bisa lepas dari rasa sedih dan berbangga diri.”[18]


Jadi tidak perlu berbangga diri dan bersedih hati atas nikmat Allah yang diperoleh dan luput darimu. Pahamilah bahwa itu semua adalah takdir Allah, tak perlu sedih. Itu semua adalah yang terbaik untuk kita, mengapa harus terus murung. Itu semua pun sewaktu-waktu bisa sirna, mengapa harus berbangga diri.


Semoga sajian tafsir ini bisa bermanfaat bagi kita dan semakin menenangkan hati yang sedang sedih.




Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Sungguh menenangkan jika kita terus mengkaji firman-firman Allah.


Disusun di Panggang-GK, 12 Ramadhan 1431 H (22 Agustus 2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

 
Artikel www.rumaysho.com
--------------------------------------------------------------------------------


[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/314.


[2] Al Qodho’ wal Qodar, Dr. ‘Umar Sulaiman Al Asyqor, Darun Nafais, cetakan ke-13, 1425H, hal. 31.


[3] HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash.


[4] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri Abul ‘Ala’, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, 6/307


[5] HR. Tirmidzi no. 2155. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.


[6] HR. Tirmidzi no. 2516. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.


[7] Tuhfatul Ahwadzi, 7/186.


[8] Penjelasan Syaikh Sholih Al Munajjid dalam Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, no. 43021, http://islamqa.com/ar/ref/43021


[9] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 8/540.


[10] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/430.


[11] Idem.


[12] Idem.


[13] HR. Muslim no. 265.


[14] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/431.


[15] HR. Ahmad 5/185. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat).


[16] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 13/431.


[17] Idem.


[18] Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam, 7/158.