Laman

Sabtu, April 03, 2010

Ikhwan yang Tidak Terkenal Itu…







Ikhwan yang Tidak Terkenal Itu…







Saat itu, ia adalah seorang ikhwan yang tidak terkenal, dan memang tidak ingin terkenal. Sebagai mahasiswa baru, kami sama-sama masuk di satu wisma. Kami sama-sama satu angkatan, bedanya beliau mahasiswa ekstensi yang melanjutkan program S1 seusai lulus program diploma.


Saya lebih “sedikit” dahulu belajar dasar-dasar bahasa Arab daripada beliau. Saya ingat betul ketika saya sudah lebih paham “dasar-dasar” kaidah nahwu, ia justru baru belajar jenis-jenis kata, ism, fi’l, dan huruf. Satu hal memberikan faidah bagi saya dari beliau adalah “keikhlasan”.


Saya teringat saat itu teman-teman berniat mengadakan daurah Aqidah dan Manhaj Islam, untuk mengisi liburan kampus UGM. Pamflet kajian pun selesai dicetak. Melihat itu, kawan saya berencana menyebarkan pamflet tersebut di wilayah luar batas ringroad utara Yogyakarta.


Kemudian, di suatu malam, kulihat ia bersiap-siap berangkat. Tidak tanggung-tanggung, ia mengambil sekitar 80 pamflet beserta lem-nya. Inilah yang sedikit membedakan dengan ikhwan saat ini (termasuk koreksi bagi saya) yang malas menyebarkan pamflet informasi dakwah meskipun sekadar tiga atau lima buah.


Sampai larut malam, ia belum pulang. Qaddarullah, menjelang sepertiga malam terakhir Allah menurunkan hujan. Dini hari sebelum shubuh baru kudengar suara motor pertanda dirinya telah pulang. Saat kulihat dirinya, tubuhnya gemetar. Ia basah kusup diguyur gerimis pagi yang memang sangat dingin ketika itu. Ia pulang sampai dini hari karena ternyata dia terjebak hujan sehingga terpaksa mampir di masjid. Qaddarullah wa ma syafa’al kunci motor terjatuh di selokan di masjid yang tertutupi besi sehingga ia kesulitan mengambil kunci. Ketika kantuk menyerang, ia pun terpaksa tidur beberapa saat di lantai masjid, dan walhamdulillah kunci bisa diambil kembali setelah usaha yang cukup lama.


Tidak kusangka, setelah matahari pagi bersinar, ternyata ia masih bersemangat menghabiskan sisa pamflet yang belum tersebar, dan jumlahnya cukup banyak karena hujan menghalanginya untuk menghabiskan pamflet malam itu juga. Masya Allah. Ia tidak peduli apakah ada ikhwan-ikhwan lain yang melihat usahanya itu atau tidak. Ia berkata kepada saya bahwa akan berusaha mencari masjid di gang-gang yang masih memungkinkan ditempeli pamflet. Ia bukanlah orang asli jogja. Maka, mencari masjid di gang-gang sudah membutuhkan waktu tersendiri.


Bagi sebagian orang, menempel pamflet kajian mungkin adalah pekerjaan sepele dan tidak populer. Apalagi dalam jumlah banyak, tidak dibayar, tidak ada orang yang memerhatikan, tidak ada orang yang menyanjung-nyanjungnya. Namun, kulihat ada satu hal yang menjadi pemompa semangat kawan saya itu, “Keikhlasan”. Na’am, ikhlas mengharap wajah Allah, bukan pujian dan sanjungan makhluk, yang menjadi modal utama kekuatan beliau. Itulah yang kulihat secara dzahir, dan tidak bermaksud menganggap suci seorang pun di hadapan Allah.


Liburan tiba, daurah pun jadi dilaksanakan. Kulihat di antara peserta ada kumpulan bapak-bapak yang mengikuti daurah. Ini cukup mencolok karena biasanya peserta daurah liburan adalah para mahasiswa UGM. Ternyata, bapak-bapak tersebut berasal dari daerah penyebaran pamflet kawan saya itu. Mungkin kawan saya tersebut tidak menyadarinya. Namun, saya tidak bisa membayangkan berapa pahala yang mengalir kepada dirinya dari hasil keringatnya menyebarkan pamfet, jika ia menjaga keikhlasannya. Terkadang kita tidak menyadari bahwa dengan sebab pamflet yang kita tempel, barangkali ada orang yang mendapat hidayah setelah membaca pamflet tersebut. Betapa banyak dan betapa mudahnya kesempatan meraih pahala yang Allah berikan kepada kita, namun sering kita tidak menyadarinya.


Ya, menyebar pamflet merupakan pekerjaan tidak populer bagi anak-anak ngaji. Ini tentu berbeda dengan kita yang dalam kepanitiaan, memegang peran sebagai ketua panitia daurah, pemegang nomor informasi / Contact Person, pembawa acara, dan seterusnya yang menjadikan diri ini terkenal. Namun, barangkali yang terkenal ini justru menjadikan hati menjadi kotor karena riya’ dan ujub. Hilanglah keikhlasannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang berakibat waktu dan tenaga yang telah ia curahkan menjadi sia-sia, tidak bernilai di sisi Allah bahkan mendapatkan dosa. Bandingkan dengan pekerjaan menyebarkan pamflet malam-malam. Siapa yang melihat, memerhatikan dan menyanjung-nyanjungnya? Keikhlasan inilah yang sering kita lalaikan.


Waktu berjalan sampai akhirnya ada saat kami harus berpisah. Namun, kabar terakhir yang kudengar dari dirinya adalah ia kini duduk bermajelis dengan ulama di kota nabi, Madinah Al-Munawwarah. Menimba ilmu dengan ulama ahlus sunnah di kota Nabi adalah dambaan setiap penuntut ilmu. Namun, bagaimana ia dengan mudahnya bisa ke sana? Sementara banyak dari kita terkendala masalah izin orang tua, biaya pesawat, ketatnya seleksi masuk Universitas Islam Madinah bagi ikhwan yang melalui jalur pendidikan formal, dan seterusnya… Betapa banyak teman-teman mengurus berkas pendaftaran Universitas Islam Madinah berkali-kali sampai batas umur telah lewat, tetapi panggilan itu tidak tiba jua. Namun, kawanku yang satu ini dengan mudahnya ke Madinah. Bukan dari pondok pesantren, bukan pula dari Madrasah Aliyah, tetapi ia anak Fakultas Teknik yang baru belajar bahasa Arab di tengah-tengah masa kuliah. Aku pun masih ingat dulu ketika masa-masa akhir ia di Jogja, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad meneleponnya bertanya masalah IT dan dia kaget dan bingung sendiri harus menjawab apa karena masih belum lancar berbicara bahasa Arab. Bagiku, satu hal yang kunilai menjadi sebab ia dapat mengalahkan teman-temannya yang lain adalah satu, “KEIKHLASAN”.


Benar pujian manusia hanya sementara. Setelah itu, mereka akan lupa pada kita. Kalau kita renungkan, sia-sialah amal perbuatan kita kalau ditujukan untuk mengharap pujian manusia. Manusia hanya memuji kita di saat apa yang kita lakukan menyenangkan pandangan mereka. Adapun bila kita tergelincir, mereka akan mencela kita habis-habisan. Hilanglah semua pujian itu yang dulu kita raih. Kita terkadang tidak menyadari bahwa inilah yang membedakan jika kita mengharap wajah Allah. Betapa sering kita tergelincir, dan Allah melihat kita, tetapi Allah malah menutupi aib kita. Namun, terkadang kita memang tidak bisa mengambil hikmah. Allahu musta’an.

Kawan, Jazakallah khair . Cukuplah melihatmu sebagai tambahan faidah bagiku.


Masjid Al-Ashri, 11 Rabi’ul Awal 1431 / 27 Maret 2010, 00:54

http://alashree.wordpress.com/2010/03/27/ikhwan-yang-tidak-terkenal-itu/