Laman

Selasa, April 05, 2011

Di Manakah Allah (2), 1000 Dalil Menunjukkan Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya

Di Manakah Allah (2), 1000 Dalil Menunjukkan Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya



Minggu, 14 Maret 2010 00:00
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.


Saat ini, kami akan tunjukkan berbagai dalil yang menyatakan bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya sebagai sanggahan untuk abusalafy yang masih meragukan keyakinan semacam ini. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai Rabbku, tolonglah aku untuk menggapai ridho-Mu).


Ulama Besar Syafi’iyah Menyatakan Ada 1000 Dalil


Mengapa banyak yang mengaku sebagai Syafi’iyah malah jauh dari aqidah yang dipegang oleh ulama Syafi’iyah. Coba perhatikan nukilan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni berikut.


قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ " أَلْفُ دَلِيلٍ " أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ " ثَلَاثُمِائَةِ " دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ


“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.”[1]


Banyak yang mengaku Syafi’iyah namun menolak jika Allah dinyatakan berada di atas, padahal keyakinan ini didukung oleh 1000 dalil. Sungguh aneh!


Bukti Terkuat dari Al Qur’an dan Hadits Nabawi


Selanjutnya kita akan melihat dalil-dalil yang kami olah dari penjelasan Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah.[2] Ibnu Abil Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam dalil”.[3] Ini baru macam dalil yang menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, belum lagi jika tiap macam dalil tersebut kita jabarkan satu per satu. Jika macam dalil tersebut diperinci, boleh jadi mencapai 1000 dalil sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi’iyah di atas. Selanjutnya kami akan menyebutkan macam-macam dalil yang dimaksudkan Ibnu Abil Izz dan kami tambahkan dengan contoh dalil yang ada. Semoga hal ini semakin membuka hati blogger abusalafy yang masih meragukan hal ini.


Pertama: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah,


يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ


“Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50)


Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala,


وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ


“Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al An’am : 18, 61)


Ketiga: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ


“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4)


Keempat: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata sho’ada- yash’adu). Ini pasti menunjukkan bahwa Allah di atas sana dan tidak mungkin Dia berada di bawah sebagaimana makhluk-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ


“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir: 10)


Terdapat pula contoh dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu Umar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda


اِتَّقُوْا دَعْوَةَ المَظْلُوْمِ فَإِنَّهَا تَصْعُدُ إِلَى اللهِ كَأَنَّهَا شَرَارَةٌ


“Berhati-hatilah terhadap do’a orang yang terzholimi. Do’anya akan naik (dihadapkan) pada Allah bagaikan percikan api.”[4] Yang dimaksud dengan ‘bagaikan percikan api’ adalah cepat sampainya (cepat terkabul) karena do’a ini adalah do’a orang yang dalam keadaan mendesak.[5]


Kelima: Dalil tegas yang menyatakan sebagian makhluk diangkat kepada-Nya (dengan menggunakan kata rofa’a). Sesuatu yang diangkat kepada Allah pasti menunjukkan bahwa Allah berada di atas sana.


Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ رَفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ


“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat 'Isa kepada-Nya ..” (QS. An Nisa’ : 158)


Juga firman Allah Ta’ala,
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ


“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.” (QS. Ali Imron: 55)


Keenam: Dalil tegas yang menyatakan ‘uluw (ketinggian) Allah secara mutlak. ‘Uluw (ketinggian) Allah ini mencakup ketinggian secara dzat (artinya Dzat Allah berada di atas), qodr (artinya Allah Maha Tinggi dalam Kehendak-Nya) , dan syarf (artinya Allah Maha Tinggi dalam sifat-sifat-Nya). Seperti firman Allah Ta’ala (pada ayat kursi),
وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ


“Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Baqarah : 255)


Begitu pula dalam ayat,


وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ


“Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Saba’ : 23)


إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ


“Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Asy Syura: 51)


Juga kita sering mengucapkan dzikir berikut ketika sujud,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى


“Maha suci Rabbku Yang Maha Tinggi.”[6]


Dalil-dalil yang menyatakan Allah ‘Maha Tinggi’ di sini sudah termasuk menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi secara Dzat-Nya yaitu Allah berada di atas.


Ketujuh: Dalil yang menyatakan Al Kitab (Al Qur’an) diturunkan dari sisi-Nya. Sesuatu yang diturunkan pasti dari atas ke bawah. Firman Allah Ta’ala yang menjelaskan hal ini
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ


“Kitab (Al Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)


تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ


“Diturunkan Kitab ini (Al Quran) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ghafir: 2)
تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ


“Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 2)
تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ


“Yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ


“Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS. An Nahl: 102)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ


“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhan : 3)


Kedelapan: Dalil tegas yang mengkhususkan sebagian makhluk dikatakan berada di sisi Allah dan dalil yang menunjukkan sebagian makhluk lebih dekat dari yang lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ عِنْدَ رَبِّكَ


“Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu.” (QS. Al A’rof: 206)


Begitu pula contohnya dalam firman Allah Ta’ala,


وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ


“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya” (QS. Al Anbiya’: 19). Lihatlah dalam ayat ini Allah membedakan kalimat “man lahu ...” yang menunjukkan kepemilikan Allah secara umum dan kalimat “man ‘indahu ...” yang menunjukkan malaikat dan hamba-Nya yang berada khusus di sisi-Nya.


Contoh lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِى كِتَابِهِ ، فَهْوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِى غَلَبَتْ غَضَبِى


“Ketika Allah menetapkan ketentuan bagi makhluk-Nya, Dia menulis dalam kitab-Nya: Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku. Kitab tersebut berada di sisi-Nya yang berada di atas ‘Arsy.”[7]


Kesembilan: Dalil tegas yang menyatakan Allah fis sama’. Menurut Ahlus Sunnah, maksud fis sama’ di sini ada dua:

Fi di sini bermakna ‘ala, artinya di atas. Sehingga makna fis sama’ adalah di atas langit.


Sama’ di sini bermakna ketinggian (al ‘uluw). Sehingga makna fis sama’ adalah di ketinggian.


Dua makna di atas tidaklah bertentangan. Sehingga dari sini jangan dipahami bahwa makna “fis samaa’ (di langit)” adalah di dalam langit sebagaimana sangkaan sebagian orang. Makna “fis samaa’ ” adalah sebagaimana yang ditunjukkan di atas.


Contoh dalil tersebut adalah firman Allah Ta’ala,


أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ


“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16)


Juga terdapat dalam hadits,


الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ


“Orang-orang yang penyayang akan disayang oleh Ar Rahman. Sayangilah penduduk bumi, niscaya (Rabb) yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.”[8]


Kesepuluh: Dalil tegas yang menyatakan abhwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi. Contoh ayat tersebut adalah,






الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى


“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah. Yang beristiwa' (menetap tinggi) di atas 'Arsy .” (QS. Thoha : 5)


Kesebelas: Dalil yang menunjukkan disyariatkannya mengangkat tangan ketika berdo’a. Seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,






إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا


“Sesungguhnya Rabb kalian –Tabaroka wa Ta’ala- Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu pada hamba-Nya, jika hamba tersebut mengangkat tangannya kepada-Nya, lalu Allah mengembalikannya dalam keadaan hampa.”[9]


Keduabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam. Semua orang sudah mengetahui bahwa turun adalah dari atas ke bawah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ


“Rabb kami –Tabaroka wa Ta’ala turun setiap malamnya ke langit dunia. Hingga ketika tersisa sepertiga malam terakhir, Allah berfirman, ‘Siapa saja yang berdo’a pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya. Siapa saja yang meminta pada-Ku, niscaya Aku akan memberinya. Siapa saja yang memohon ampunan pada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya’.”[10]


Ketigabelas: Isyarat dengan menunjuk ke langit yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas. Sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Muslim dalam hadits yang cukup panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika manusia berkumpul dengan jumlah yang amat banyak, di hari yang mulia dan di tempat yang mulia.


قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ


Mereka yang hadir berkata, “Kami benar-benar bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasehat.” Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau berkata pada manusia, “Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).”[11]


Keempatbelas: Dalil yang menanyakan ‘aynallah’ (di mana Allah?).


Contohnya dalil dari hadits Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy dengan lafazh dari Muslim,


“Saya memiliki seorang budak yang biasa mengembalakan kambingku sebelum di daerah antara Uhud dan Al Jawaniyyah (daerah di dekat Uhud, utara Madinah, pen). Lalu pada suatu hari dia berbuat suatu kesalahan, dia pergi membawa seekor kambing. Saya adalah manusia, yang tentu juga bisa timbul marah. Lantas aku menamparnya, lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkara ini masih mengkhawatirkanku. Aku lantas berbicara pada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus membebaskan budakku ini?” “Bawa dia padaku,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berujar. Kemudian aku segera membawanya menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budakku ini,






أَيْنَ اللَّهُ


“Di mana Allah?”


Dia menjawab,


فِى السَّمَاءِ


“Di atas langit.”


Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Siapa saya?” Budakku menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ


“Merdekakanlah dia karena dia adalah seorang mukmin.”[12]


Adz Dzahabi mengatakan, “Inilah pendapat kami bahwa siapa saja yang ditanyakan di mana Allah, maka akan dibayangkan dengan fitrohnya bahwa Allah di atas langit. Jadi dalam riwayat ini ada dua permasalahan: [1] Diperbolehkannya seseorang menanyakan, “Di manakah Allah?” dan [2] Orang yang ditanya harus menjawab, “Di atas langit”.” Lantas Adz Dzahabi mengatakan, “Barangsiapa mengingkari dua permasalah ini berarti dia telah menyalahkan Musthofa (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]


Kelimabelas: Dalil yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan orang yang menyatakan bahwa Rabbnya di atas langit dan beliau menyatakan orang tersebut beriman. Contohnya adalah sebagaimana hadits Jariyah yang disebutkan pada point keempatbelas.


Keenambelas: Dalil yang menyatakan bahwa Allah menceritakan mengenai Fir’aun yang ingin menggunakan tangga ke arah langit agar dapat melihat Tuhannya Musa. Lalu Fir’aun mengingkari keyakinan Musa mengenai keberadaan Allah di atas langit. Allah Ta’ala berfirman,






وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا


“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta".” (QS. Al Mu’min: 36-37)


Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” [14]


Ketujuhbelas: Berita dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menceritakan bahwa beliau bolak-balik menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan Allah ketika peristiwa Isro’ Mi’roj. Ketika itu beliau meminta agar shalat menjadi diperingan. Beliau pun naik menghadap Allah dan balik kembali kepada Musa berulang kali.[15]


Peristiwa Isro’ Mi’roj ini secara jelas menunjukkan Allah itu di atas.


Kedelapanbelas: Berbagai macam dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa penduduk surga melihat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa penduduk surga tersebut melihat Allah sebagaimana mereka melihat rembulan di malam purnama tanpa dihalangi oleh awan. Penduduk surga tersebut melihat Allah dan Allah berada di atas mereka.


Demikian pemaparan mengenai macam-macam dalil yang mendukung Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya dan bukan di mana-mana sebagaimana klaim sebagian orang yang keliru dan salah paham.


Mengkritisi Lagi AbuSalafy


Setelah pemaparan berbagai dalil yang begitu banyak yang membuktikan bahwa Allah itu berada di atas seluruh makhluk-Nya, maka kami akan mengajukan beberapa kritikan lagi kepada abusalafy dalam tulisannya “Kritik Atas Akidah Ketuhanan ala Wahabi Salafy “. Intinya kesimpulan beliau adalah Allah ada tanpa tempat. Jadi, beliau menolak menyatakan Allah berada di atas langit dengan berbagai argumen yang ia kemukakan.


Kritik pertama:

Di antara argumen abusalafy, beliau menolak shahihnya hadits Jariyah yaitu hadits dari Mu’awiyah bin Al Hakam As Sulamiy yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada budaknya di manakah Allah, dengan alasan hadits tersebut mudhthorib, sehingga beliau katakan bahwa redaksi pertanyaan di manakah Allah bukan redaksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ada tambahan dari perowi.

Sebagai jawaban, walaupun kami memang perlu membahas tentang mudhthorib yang beliau tuduhkan, ringkasnya kami sanggah: Taruhlah jika hadits jariyah yang ditanya di manakah Allah itu lemah (dhoif), lantas bagaimana dengan dalil Al Qur’an dan Hadits Nabawi lainnya yang menyatakan secara tegas Allah di atas seluruh makhluk-Nya? Dalil-dalil ini mau diletakkan di mana? Ataukah mau ditakwil (diselewengkan maknanya) lagi? Jika ingin menyelewengkan makna dari berbagai dalil yang menyatakan Allah di atas, maka sudah cukup sanggahan kami dalam tulisan pertama sebagai sanggahan telak baginya. Silakan rujuk kembali dalam tulisan tersebut.

Kritik kedua:


Beliau –abusalafy- menyatakan sendiri, “Keyakinan bahwa Allah itu berada di langit adalah keyakinan Fir’aun yang telah dikecam habis Al Qur’an. Allah berfirman,


.وَ قالَ فِرْعَوْنُ يا هامانُ ابْنِ لي صَرْحاً لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبابَ * أَسْبابَ السَّماواتِ فَأَطَّلِعَ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّي لَأَظُنُّهُ كاذِباً وَ كَذلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَ صُدَّ عَنِ السَّبيلِ وَ ما كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلاَّ في تَبابٍ .


“Dan berkatalah Firaun:” Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’un itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.” (QS.Ghafir/Al Mu’min: 36-37)”


Ini tafsiran dari mana? Bukankah Fir’aun sendiri yang mengingkari keyakinan Nabi Musa yang menyatakan Allah berada di atas langit? Jadi Fir’aun yang sebenarnya mengingkari Allah di atas langit. Lantas dari mana dikatakan bahwa itu keyakinan Fir’aun? Sungguh ini tuduhan tanpa bukti. Beliau belum menunjukkan bukti sama sekali tentang tuduhannya tersebut. Beliau mungkin saja yang salah paham sehingga pemahamannya pun jauh dengan yang dipahami ulama besar semacam Ibnu Abil Izz Al Hanafi. Lihat sekali lagi perkataann Ibnu Abil Izz tentang ayat tersebut. Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Mereka jahmiyah yang mendustakan ketinggian Dzat Allah di atas langit, mereka yang senyatanya pengikut Fir’aun. Sedangkan yang menetapkan ketinggian Dzat Allah di atas langit, merekalah pengikut Musa dan pengikut Muhammad.” Dan Ibnu Abil Izz sebelumnya mengatakan, “Fir’aun itu mengingkari Musa yang mengabarkan bahwa Rabbnya berada di atas langit.”[16] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni juga mengatakan,


كَذَّبَ مُوسَى فِي قَوْلِهِ إنَّ اللَّهَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ


“Fir’aun mengingkari Musa, di mana Musa mengatakan bahwa Allah berada di atas langit.”[17]


Dari sini silakan pembaca menilai siapakah sebenarnya yang jadi pengikut Fir’aun.


Agar tidak terlalu panjang lebar dalam tulisan kedua ini, kami akan melanjutkannya dalam tulisan serial ketiga. Masih banyak syubhat-syubhat yang mesti disanggah yang nanti kami akan kupas dalam tulisan selanjutnya. Dalam serial ketiga, insya Allah kami akan membahas keyakinan para sahabat, ulama madzhab serta ulama besar lainnya yang semuanya mendukung bahwa Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.


Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya. Hanya Allah yang memberi taufik.


Diselesaikan di tengah malam, di Panggang-Gunung Kidul, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)


Artikel http://rumaysho.com


--------------------------------------------------------------------------------


[1] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H.


[2] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafi, Dita’liq oleh Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, 2/437-442, Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1421 H.


[3] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437.


[4] HR. Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Silsilah Ash Shohihah no. 871.


[5] Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/184, Mawqi’ Ya’sub.


[6] HR. Muslim no. 772.


[7] HR. Bukhari no. 3194 dan Muslim no. 2751.


[8] HR. Abu Daud no. 4941 dan At Tirmidzi no. 1924. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih


[9] HR. Abu Daud no. 1488. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih


[10] HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758


[11] HR. Muslim no.1218.


[12] HR. Ahmad [5/447], Malik dalam Al Muwatho’ [666], Muslim [537], Abu Daud [3282], An Nasa’i dalam Al Mujtaba’ [3/15], Ibnu Khuzaimah [178-180], Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah [1/215], Al Lalika’iy dalam Ushul Ahlis Sunnah [3/392], Adz Dzahabi dalam Al ‘Uluw [81]


[13] Mukhtashor Al ‘Uluw, Syaikh Al Albani, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 81, Al Maktab Al Islamiy, cetakan kedua, 1412 H


[14] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.

[15] Hadits Muttafaqun ‘alaih, riwayat Bukhari Muslim.

[16] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/441.


[17] Majmu’ Al Fatawa, 3/225.


--------------------------------------------------------------------------------

Di manakah Allah (1), Keyakinan yang Benar Mengenai Sifat Allah


Di manakah Allah (1), Keyakinan yang Benar Mengenai Sifat Allah



Jumat, 12 Maret 2010 00:00
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.


Saat ini, alhamdulillah dakwah semakin tersebar luas di dunia maya. Website dakwah pun semakin menjamur. Ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. Di samping itu dakwah kepada kepahaman menyimpang pun juga semakin tersebar. Yang terakhir ini pun sangat menyedihkan. Orang awam yang asal fitrohnya bersih akhirnya ternodai dengan berbagai macam kotoran syubhat (pemikiran sesat) yang membutakan hati. Di antaranya adalah beberapa syubhat yang dibawakan oleh para blogger anti salafi, yang menamakan blognya dengan sebutan abusalafy. Syubhat yang ada dan cukup keras adalah mengenai pernyataan mereka bahwa Allah itu ada tanpa tempat. Ini adalah penentangan mereka terhadap aqidah Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit dan Allah berada tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Semoga dengan pertolongan dan taufik Allah Ta’ala, kami bisa menyingkap kebenaran yang ada. Ya Robbi, a’in ‘ala naili ridhoka (Wahai Rabbku, tolonglah aku untuk menggapai ridho-Mu).


Keyakinan yang Benar Mengenai Nama dan Sifat Allah


Ada beberapa i’tiqod (keyakinan) yang seharusnya menjadi pegangan dan keyakinan seorang muslim mengenai asma’ wa shifat (nama dan sifat Allah). Sebagaimana disebutkan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni rahimahullah dalam kitab Aqidah Al Wasithiyah, beliau rahimahullah menyatakan:


ومن الإيمان بالله الإيمان بما وصف به نفسه في كتابه وبما وصفه به رسوله محمد صلى الله عليه و سلم من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل بل يؤمنون بأن الله سبحانه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير


“Di antara bentuk iman kepada Allah adalah beriman kepada apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri dalam Al Qur’an dan apa yang Rasul-Nya Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sifatkan tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil. Akan tetapi, mereka (Ahlus Sunnah) itu beriman bahwa tidak ada yang semisal dengan Allah dan Allah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.”[1]


Mengenai pernyataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni di atas juga kita jumpai dalam perkataan ulama lainnya. Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- mengatakan,






لَا يُوصَفُ اللَّهُ إِلَّا بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ ، أَوْ وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ ، لَا يُتَجَاوَزُ الْقُرْآنُ وَالْحَدِيثُ


“Allah tidaklah disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al Qur’an dan Al Hadits.”[2]


Dalam pernyataan di atas yang tentu saja hasil dari penelitian dan penyimpulan Al Qur’an dan As Sunnah, kita dapat mengatakan bahwa i’tiqod yang mesti diyakini seorang muslim adalah sebagai berikut.


Pertama: Hendaklah seseorang menetapkan nama bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya.


Kedua: Penetapan nama dan sifat Allah di sini tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan tamtsil.


Tahrif adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi irodatul khoir (menginginkan kebaikan).


Ta’thil adalah menolak nama atau sifat Allah. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.


Takyif adalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain. Seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat sifat-Nya dengan sebenarnya.


Tamtsil adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah memiliki tangan dan sama dengan tanganku.


Keempat hal ini terlarang dalam mengimani nama dan sifat Allah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)


Ayat,


لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” adalah bantahan terhadap orang yang melakukan takyif dan tamtsil, yaitu yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk atau menyebutkan hakekat sifat Allah padahal yang mengetahuinya hanyalah Allah.


Sedangkan ayat,






وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


“dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” adalah bantahan untuk orang yang melakukan tahrif dan ta’thil. Karena dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah memiliki sifat mendengar dan melihat. Makhluk pun memiliki sifat mendengar dan melihat, namun tentu saja kedua sifat Allah ini berbeda dengan makhluk. Oleh karenanya, kedua sifat tersebut tidak boleh ditahrif (diselewengkan) maknanya dan tidak perlu dita’thil (ditolak maknanya). Sebagaimana hal ini juga berlaku untuk sifat-sifat Allah lainnya.


Pahamilah Ayat Sifat Secara Zhohir, Tidak Perlu Mentakwil


Pengasuh blog abu salafy ketika menyanggah hujjah akhi fadhil Ustadz Abul Jauzaa hafizhohullah mengenai keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, ia menyatakan sebagai berikut.


“Yang tampak dari nash-nash yang menyebut secara lahiriyah bahwa Alah SWT di langit jelas bukan demikian maksud sebenarnya. Ia mesti dita’wil, sebab Allah tidak bisa ditanyakan dengan kata tanya: Di mana Dia? Kata di mana? Tidak pernah disabdakan Nabi saw., seperti telah kami buktikan.”


Kami harap para pembaca dapat memperhatikan kalimat yang kami garisbawahi. Inilah dasar pemahaman abusalafy ketika ingin menyanggah ideologi keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya. Dia punya keyakinan bahwa dalil-dalil yang menyatakan semacam itu, hendaklah dita’wil yaitu diartikan dengan makna lainnya dan jangan dipahami secara zhohir (tekstual). Inilah kerancuan abusalafy ketika memahami nama dan sifat Allah.


Para pembaca sekalian, yang dimaksud dengan memahami secara zhohir (tekstual) adalah memahami makna yang tertangkap langsung di dalam benak pikiran. Kami contohkan adalah ketika kita mengatakan, “Ali melihat singa.” Maka makna yang tertangkap adalah Ali benar-benar melihat binatang buas yang dinamakan singa. Inilah yang dimaksudkan memahami secara zhohir. Walaupun masih ada kemungkinan makna singa di situ bisa dengan makna lainnya seperti berarti pemberani. Misalnya kita katakan, “Ali Sang Singa menaklukan musuh-musuhnya.” Yang dimaksudkan di sini bukan singa binatang buas, namun bermakna pemberani karena dipahami dari konteks kalimat. Namun kalau kita mendengar kata singa secara sendirian, tentu yang tertangkap dalam benak kita adalah singa yang termasuk binatang buas.


Ketika memahami sifat Allah pun mesti seperti itu. Hendaklah kita memahami secara zhohir, sesuai makna yang tertangkap dalam benak kita tanpa kita takwil (palingkan) ke makna lainnya tanpa adanya indikator atau dalil. Inilah yang diperintahkan dalam Al Qur’an ketika kita memahami ayat Al Qur’an. Coba kita perhatikan ayat-ayat berikut ini. Allah Ta’ala berfirman,






وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)


“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syu’ara: 192-195). Lihatlah ayat ini menegaskan bahwa Al Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, yang artinya bisa langsung kita pahami.


Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,






إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ


“Sesungguhnya Kami menjadikan Al Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Asy Syu’ara: 192-195). Ayat ini pun demikian yaitu menjelaskan bahwa Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab yang mudah dipahami secara zhohir, tanpa perlu dipalingkan ke makna lainnya.


Begitu pula Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti apa yang Allah turunkan, artinya sesuai yang kita pahami di benak kita. Allah Ta’ala berfirman,






اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ


“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al A’rof: 3)


Apabila Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an dengan bahasa Arab agar mudah direnungkan dan dipahami, lalu Allah memerintahkan untuk mengikutinya, maka wajib bagi kita memahami ayat-ayat yang ada secara zhohirnya sesuai yang dimaksudkan oleh bahasa Arab kecuali jika hakekat syar’i yang dikehendaki bukanlah demikian. Begitu pula hal ini berlaku pada ayat-ayat yang menjelaskan sifat Allah (tangan, wajah, istiwa’, dsb). Bahkan berpegang dengan zhohir pada nash-nash yang menjelaskan sifat Allah lebih utama kita praktekan karena penunjukkan sifat Allah harus tauqifiy (harus dengan dalil), tidak ada ruang bagi akal untuk merinci sifat Allah.


Jika ada yang mengatakan, “Janganlah pahami ayat yang menunjukkan sifat Allah secara zhohir, karena makna zhohir bukanlah yang dimaksudkan?” Kita jawab, “Apa yang dimaksud dengan zhohir yang kalian inginkan?”


[Pertama] Kalau yang kalian maksudkan adalah memahami makna yang tertangkap pada nash denagn memahami sifat Allah tersebut sesuai dengan yang layak bagi-Nya tanpa melakukan tamtsil (penyamaan dengan makhluk), maka ini benar. Hal ini wajib diterima dan diimani oleh setiap hamba. Karena tidak mungkin Allah menceritakan mengenai sifat-sifat-Nya, lalu itu bukan yang Allah inginkan dan tanpa menjelaskannya pada hamba-Nya.


[Kedua] Namun jika zhohir yang dimaksudkan adalah memahami sifat Allah dengan melakukan tamtsil (menyamakan sifat tersebut dengan sifat makhluk), maka inilah makna yang tidak diinginkan. Sebenarnya makna ini bukan makna zhohir dari dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menjelaskan mengenai sifat Allah. Karena pemahaman zhohir semacam ini adalah pemahaman kufur dan batil serta terbantahkan dengan dalil dan ijma’ (kesepakatan para ulama).[3]


Silakan pembaca menilai pernyataan abusalafy di atas yang menyatakan sifat Allah mesti dita’wil. Pernyataan ini sungguh melenceng dari ijma’ (kesepakatan ulama). Lihat baik-baik klaim ijma’ dari pernyataan ulama berikut ini.


Memahami Sifat Allah Secara Zhohir adalah Ijma’ (Kesepakatan Para Ulama)


Al Imam Al Khothobiy rahimahullah mengatakan, “Madzhab salaf dalam mengimani sifat Allah adalah menetapkan dan memahaminya secara zhohir (tekstual), mereka menolak menyebutkan hakikat (kaifiyah) sifat tersebut dan mereka tidak melakukan tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).”[4]


Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah, “Ahlus Sunnah berijma’ (bersepakat) dalam menetapkan sifat Allah yang terdapat dalam Al Kitab dan As Sunnah, mereka memahaminya sesuai dengan hakikatnya dan bukan dipahami secara majas. Namun ingatlah mereka tidak menyebutkan kaifiyah sifat tersebut (seperti menggambarkan bagaimana bentuk tangan dan wajah Allah, pen). Berbeda halnya dengan Jahmiyah, Mu’tazilah dan Khowarij; mereka semua mengingkari sifat Allah, mereka tidak mau memahami sesuai dengan makna hakikatnya. Mereka malah menganggap bahwa orang-orang yang menetapkan sifat sebagai musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk). Namun menurut mereka yang menetapkan sifat bagi Allah (yaitu Ahlus Sunnah) menilai bahwa Mu’tazilah,cs–lah yang telah menafikan (meniadakan) Allah sebagai sesembahan.”[5]


Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Para salaful ummah dan para imam telah bersepakat (berijma’) bahwa nash-nash yang menjelaskan sifat Allah haruslah dipahami secara zhohir (tekstual) sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah tanpa melakukan tahrif (penyelewengan makna). Dan ingatlah bahwa memahami secara sifat Allah secara zhohir tidak berarti kita menyamakan Allah dengan makhluk.”[6]


Jadi, kenapa kita harus pahami dalil-dalil yang menjelaskan sifat Allah secara zhohir (seperti sifat tangan, wajah, ghodob (murka), istiwa’ Allah)? Jawabannya:


1.Tidak mungkin bagi Allah membicarakan sesuatu, namun itu bukan yang Dia inginkan atau menyelisihi zhohirnya tanpa ada penjelasan.


2.Menetapkan sifat bagi Allah adalah tauqifi yaitu butuh dalil, sehingga kalau makna sifat Allah mau diselewengkan dari makna zhohir harus dengan dalil.


3.Inilah kesepakatan (ijma’) para ulama ahlus sunnah.


Tuduhan: Menetapkan Sifat Allah Berarti Melakukan Tasybih


Inilah tuduhan lainnya dari abusalafy dalam beberapa tulisannya terhadap orang yang menetapkan Allah berada di atas langit. Beliau menyebut mereka yang menetapkan sifat semacam itu sebagai mujassimah atau musyabbihah, yang berarti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Inilah yang diisyaratkan oleh Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni. Beliau rahimahullah mengatakan, “Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).”


Inilah bloger abusalafy yang mengikuti jejak Mu’tazilah dan Jahmiyah. Tidak beda jauh antara dia dengan mereka. Namun tenang saja, alhamdulillah tuduhan seperti ini sudah disanggah oleh ulama-ulama terdahulu. Perhatikan kalam mereka berikut ini.


Nu’aim bin Hammad Al Hafizh rahimahullah mengatakan, “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka dia kafir. Siapa yang mengingkari sifat Allah yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, maka dia kafir. Namun, menetapkan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya atau yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tidaklah disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).”


Ishaq bin Rohuwyah rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman,


لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)


Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Seandainya menetapkan ketinggian bagi Allah Ta’ala (di atas seluruh makhluk-Nya) bermakna tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka setiap orang yang menetapkan sifat yang lainnya bagi Allah Ta’ala seperti menetapkan bahwa Allah itu Qodir (Maha Kuasa), Allah itu saami’ (Maha Mendengar) atau Allah itu bashiir (Maha Mendengar), orang-orang yang menetapkan seperti ini juga haruslah disebut musyabbihah. Namun tidak seorang muslim pun pada hari ini yang mereka menisbatkan diri pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa orang yang menetapkan sifat-sifat tadi bagi Allah adalah musyabbihah (melakukan tasybih atau menyerupakan Allah dengan makhluk), berbeda dengan para penolak sifat Allah yaitu Mu’atzilah, dll.”[7]


Ringkasnya, jika kita yang menyatakan Allah di atas langit adalah musyabbihah, maka seharusnya engkau katakan pula pada orang-orang yang menetapkan sifat mendengar, melihat, bahkan sifat wujud adalah musyabbihah karena sifat-sifat ini juga ada pada makhluk. Namun, pasti engkau akan mengelak, tidak mau mengatakan demikian.


Jadi, jika kami mengatakan bahwa Allah di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya, itu bukanlah berarti Allah serupa dengan makhluk. Jadi kami yang menetapkan sifat bukanlah musyabbihah, seperti kleim Anda.


Justru orang yang menolak sifat Allah atau mengatakan, ‘Allah tidak berada di atas langit’, karena tidak boleh kita pahami ayat-ayat yang menyatakan demikian secara zhohirnya, namun makna yang lainnya’; mereka itulah sebenarnya musyabbihah? Kok, tuduhan ini bisa berbalik?


Ini buktinya. Perlu diketahui bahwa setiap orang yang menolak sifat Allah (mu’athilah) sebelumnya mereka terlebih dahulu menyerupakan sifat Allah dengan makhluk (melakukan tasybih). Sebelumnya mereka berpikir, “Kalau kita menetapkan sifat tangan, wajah, dan sifat lainnya bagi Allah, maka ini sama saja kita menyerupakan Allah dengan makhluk”. Lalu agar sifat Allah tidak sama dengan makhluk, setelah itu mereka menolak sifat Allah, yaitu menolak sifat tangan, wajah, dan sifat lainnya. Inilah pemikiran mu’athilah (para penolak sifat) pertama kali. Sehingga para ulama mengatakan, “Kullu mu’athil musyabbih”, yaitu setiap orang yang menolak sifat Allah, mereka juga adalah orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (melakukan tasybih). Karena takut menyerupakan Allah, akhirnya mereka menolak sifat Allah. Jadi siapakah sebenarnya yang musyabbihah atau mujassimah?


Nantikan serial selanjutnya dari pembahasan ini mengenai berbagai dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah tentang keberadaan Allah di atas langit.


Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah mudahkan untuk pembahasan selanjutnya.


Diselesaikan di malam hari, di Panggang-Gunung Kidul, 26 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)


Artikel http://rumaysho.com
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ibnu Taimiyah, hal. 8, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1426 H


[2] Aqowiluts Tsiqoot fii Ta’wilil Al Asma’ wa Ash Shifaat wal ayat Al Muhkamat wal Mutasyabihaat, Mar’i bin Yusuf Al Hambali Al Maqdisi, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, hal. 234, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1406 H.


[3] Penjelasan ini kami sarikan dari Taqribut Tadmuriyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 45-46, Darul Atsar, cetakan pertama, tahun 1422 H.


[4] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Al Hafizh Syamsuddin Adz Dzahaby, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 38, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1412 H.


[5] Idem


[6] Taqribut Tadmuriyah, hal. 46


[7] Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.

http://www.rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2955-di-manakah-allah-1.html