Laman

Selasa, Maret 30, 2010

Nasehati lin Nisaa



Nasehati lin Nisaa




Pernah membaca buku Nasehati lin Nisaa? Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Nasehatku bagi Para Wanita ini ditulis oleh seorang aalimah (ulama wanita) dari negeri Yaman yang bernama Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah. Beliau hafizhahallah adalah putri dari ulama ahlul hadits di masa kita, yaitu Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’I rahimahullah.



Ummu Abdillah adalah seorang aalimah yang memiliki banyak keutamaan. Ummu Abdillah mengajar di madrasah nisa’ (khusus wanita) dan memiliki beragam karya tulis ilmiyah. Di antaranya:



- Shahihul Musnad fis Syamail Muhammadiyah (tentang kesempurnaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dicetak dalam dua jilid)

- Jamius Shahih fi ilmi wa Fadhlihi (tentang keutamaan ilmu)

- Tahqiq kitab As-Sunnah Ibnu Abi Ashim

- Nasehati lin Nisa

- dan sekarang beliau masih mengerjakan Shahihul Musnad min Sirah Nabawiyah



Yang ingin saya angkat dalam artikel ini adalah bagaimana cara Syaikh mendidik putrinya sehingga tumbuh menjadi seorang aalimah. Tema ini mungkin jarang diangkat karena biasanya yang dipersiapkan sebagai seorang alim atau ulama adalah anak laki-laki saja. Pernahkah kita bercita-cita putri kita menjadi seorang aalimah? Kalau memang ada keinginan tersebut, mungkin kita bisa bercermin terlebih dahulu dengan metodologi Asy-Syaikh dalam mendidik putrinya.



Ummu Abdillah berkisah tentang bagaimana ayahanda beliau –Syaikh Muqbil- mendidik putri-putrinya,



… Ayahanda tidak pernah menyia-nyiakan kami, betapa pun sibuknya beliau. Oleh karena itulah beliau sangat perhatian terhadap kami dalam mempelajari Al-Quran. Beliau selalu menuntun kami dalam membaca Al-Quran. Kadang beliau rekam agar hapalan kami semakin kokoh. Suatu ketika saudari saya menghapal, dan ayahanda sedang berada di perpustakaan. Saudariku tadi mencari beliau, ingin direkamkan hapalannya. Beliau pun meninggalkan risetnya, merekam hapalan saudariku lalu kembali lagi ke perpustakaan.



Begitu kami mengetahui qiraah yang baik, beliau membeli kaset qiraah Syaikh Al-Husari untuk kami. Beliau juga membelikan untuk masing-masing putrinya satu tape recorder tanpa radio. Ini bentuk penjagaan beliau agar kami tidak mendengar nyanyian.



Setelah kami mengerti lebih banyak, kami dibelikan masing-masing sebuah tape recorder dengan radionya, namun beliau tetap memperingatkan kami terhadap nyanyian dengan keras. Dan alhamdulillah, kami menerima peringatan tersebut. Kami tidak mendengarkan nyanyian sama sekali, seiring dengan rasa tidak senang terhadap nyanyian.



Dalam menghapal, beliau memerintahkan kami untuk hanya menggunakan satu mushaf dari satu penerbit karena itu akan membantu memperkokoh hapalan. Kalau beliau melihat di tangan kami ada mushaf yang berbeda, beliau akan memberi peringatan keras dan sangat marah.



Di antara murid beliau ada orang-orang Sudan dan Mesir yang datang beserta istri-istrinya. Di antara istri-istri mereka ada yang mengajar kami dengan diberi imbalan jasa oleh ayah sebagai bentuk perhatian beliau terhadap pendidikan. Dan apabila di buku-buku yang dipergunakan oleh para guru wanita tersebut ada gambar makhluk bernyawanya, beliau memerintahkan kami untuk menghapusnya. Kami pun menghapus gambar-gambar tersebut disertai dengan kebencian yang sangat terhadap gambar-gambar itu.



Lalu setelah itu kami pun diajari ilmu-ilmu syar’i Al Kitab dan As-Sunnah, sehingga kami pun menghafal bersama para guru tersebut dan kami pun hapal beberapa hadits walhamdulillah.



Beliau rahimahullah terkadang bersenang-senang dan bergurau bersama kami, dalam perkara yang diizinkan oleh Allah. Berbeda dengan kebanyakan kaum muslimin –kecuali yang dirahmati oleh Allah- yang bersenang-senang bersama anak-anak mereka dengan televisi, nyanyian, permainan-permainan gila, serta kerusakan lainnya. Padahal nabi kita bersabda, “Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang dipimpinnya.”



Beliau selalu melarang kami terlalu banyak keluar, dan beliau selalu mengharuskan kami untuk tidak keluar kecuali seizin beliau.



Ini apa yang dijalankan beliau semasa kami kecil.



Ada pun tentang pendidikan kami, beliau sangat ingin kami mendalami agama Allah dan mencari bekal ilmu syar’i. Sebab itulah, beliau mencurahkan kemampuan beliau untuk membantu kami menuntut ilmu dan membuat kami menggunakan kesempatan kami dengan sebaik-baiknya. Beliau selalu menyediakan waktu khusus untuk mendidik kami. Setiap hari kedua, beliau menanyakan pelajaran yang telah lalu. Jika pelajaran itu terlalu berat, maka beliau berikan dengan cara yang jauh lebih ringan.



Di antara pelajaran yang khusus kami pelajari di rumah adalah:

- Qatrun Nada sampai dua kali

- Syarh Ibnu Aqil sampai dua kali juga

- Tadribur Rawi

- Mushilut Thullabi ila Qowaidil I’rab (namun tidak selesai karena beliau sakit)



Majelis beliau senantiasa penuh dengan kebaikan, diskusi, dan pengarahan, sampai pun di atas hidangan makan atau via telepon.



Ketika beliau di Saudi sebelum berangkat ke Jerman, ayahanda mengucapkan salam lewat telepon kepada saya, “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”. Saya menjawab tanpa mengucapkan, “Wabarakatuh”. Beliau bertanya (menegur), “Mengapa tidak engkau balas dengan yang lebih utama?” sebagai isyarat pengamalan ayat ke 86 dari surat An-Nisa.



Terkadang beliau sengaja salah memberikan pertanyaan untuk menguji pemahaman kami, sebagaimana itu beliau lakukan juga kepada murid laki-laki. Kadang beliau bertanya tentang soal yang cukup berat, untuk memberikan faedah namun disuguhkan dengan pertanyaan terlebih dahulu. Metode ini pun diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana di dalam hadits Muadz.



Kadang ketika kami menemui kesulitan dalam pelajaran atau riset kami, beliau memerintahkan kami untuk meneruskan riset tersebut, atau beliau mengikuti kami ke perpustakaan dan membantu kami. Inilah yang menyebabkan kami begitu berduka karena kehilangan beliau rahimahullah. Siapa yang akan memperhatikan kami sepeninggal ayahanda?



Beliau selalu mendidik dan mengarahkan kami dengan lemah lembut. Dan dengan karunia Allah, kami tidak terdorong sedikit pun untuk menentang beliau, karena semua itu adalah demi kemaslahatan dan keuntungan kami juga. Semuanya adalah mutiara yang diuntai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.



Di antara yang mengagumkan pada diri beliau adalah tidak pernah kepada kami dalam perkara ijtihad kami yang memiliki sisi pandang lain. Kalau kami sudah memahami suatu masalah yang berbeda dengan pemahaman beliau maka beliau tidak memaksa kami, seperti juga kebiasaan beliau bersama murid-muridnya yang laki-laki. Beliau tidak pernah menekan mereka untuk memahami sesuatu yang masih perlu dipertimbangkan. Ini, sebagaimana para pembaca lihat, adalah kemuliaan yang sangat jarang ditemukan.



Beliau rahimahullah juga memperingatkan kami dari masyarakat, karena masyarakat kami adalah masyarakat yang rusak, bersegera dalam kesesatan dan hal-hal yang tidak berguna, kecuali yang dirahmati Allah.



Beliau juga memperingatkan kami dari sikap sombong. Beliau sangat benci kepada wanita yang sombong terhadap suaminya, beliau mengatakan, “Tidak ada kebaikan wanita yang seperti ini.”



Beliau mendorong kami untuk bersikap zuhud terhadap dunia yang rendah ini. Beliau bimbing kami untuk meniatkan apa yang kami makan dan minum untuk menguatkan kami dalam bertakwa, agar memperoleh pahala dari Allah. Beliau katakan, “Janganlah kamu sibukkan dirimu menyiapkan berbagai hidangan makanan. Apa yang mudah diolah, kita makan.”



Beliau bangkitkan semangat kami. Beliau bukan termasuk orang yang suka meruntuhkan semangat keluarga dan anak-anak perempuannya. Beliau membentuk kami dengan sebaik-baiknya, agar kami mudah dan bersemangat untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat.



Di antara ucapan beliau kepada saya, “Saya berharap agar kamu menjadi wanita yang faqih.” Ya Allah, wujudkanlah harapan ayahanda, duhai Zat yang tidak diharap kecuali kepada-Nya, tempatkanlah beliau di surga firdaus yang tinggi.



________

(Diringkas dari buku “Secercah Nasehat dan Kehidupan Indah Ayahanda Al-Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I”, terbitan pustaka Al-Haura Jogjakarta).

SURAT TERBUKA : DARI UMMU ‘ABDILLAH AL-WADI’IYYAH







Rabu, 29 April 2003 - 01:48:57, Penulis : Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein


SURAT TERBUKA : DARI UMMU ‘ABDILLAH AL-WADI’IYYAH







Sepucuk surat terlayang dari negeri Yaman, dari seorang ‘alimah muhadditsah yang dikenal dengan nama Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah. Putri seorang muhaddits zaman ini, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, sebagai lecutan semangat bagi para muslimah di Indonesia untuk menuntut ilmu syar’i.



Dari Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyah,

untuk saudaraku di jalan Allah Ummu Ishaq Al Atsariyah



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Setelah memuji Allah Subhanahu wata’ala, aku kabarkan padamu, wahai Ummu Ishaq, bahwa telah sampai padaku dua pucuk surat darimu, semoga Allah menjagamu dan aku doakan semoga Allah mencintaimu, yang Dia telah menjadikanmu cinta kepadaku karena-Nya.



Adapun mengenai permintaanmu agar aku menulis risalah kepada akhwat salafiyat di Indonesia, aku jawab bahwa aku telah menulis kitab Nashihati lin-Nisaa (Nasihatku untuk Wanita) yang sekarang sedang dicetak. Bila kitab itu telah terbit, Insya Allah akan kami kirimkan kepadamu, semoga Allah memudahkannya.



Adapun nasihatku dalam thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu agama) bagi wanita, maka aku katakan: Hendaklah wanita memulai dari perkara yang Allah wajibkan atasnya, seperti mulai dengan belajar ilmu tauhid yang merupakan pokok agama ini, karena Allah tidak akan menerima amalan apa pun dari seorang hamba jika ia tidak mentauhidkan-Nya dalam ibadah tersebut. Sebagaimana Allah berfirman dalam hadits qudsi :

“Aku paling tidak butuh kepada sekutu-sekutu dari perbuatan syirik. Siapa yang mengerjakan suatu amalan yang dalam amalan tersebut dia menyekutukan Aku dengan yang lain maka aku tinggalkan dia dan sekutunya.”



Juga mempelajari thaharah, cara bersuci dari haid, nifas dan setiap yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur/kemaluan depan dan belakang), dan mempelajari tata cara shalat, syarat-syarat dan kewajiban-kewajibannya.



Demikian pula mempelajari tata cara haji jika ia ingin menunaikan ibadah ini, dan seterusnya…

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”



Setelah itu, jika wanita tersebut termasuk orang-orang yang berkesinambungan dalam menuntut ilmu, maka hendaklah ia menghafal al-Qur’an bila memang itu mudah baginya dan juga menghafal hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, tentunya disertai pemahaman dengan memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian merujuk kitab tafsir kalau ada masalah yang berkaitan dengan Al Qur’an, seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Ibnu Jarir. Jika masalahnya berkaitan dengan Sunnah, maka merujuklah kepada kitab-kitab syarah dan fiqih seperti Fathul Bari, Syarhun Nawawi li Shahih Muslim, Nailul Authar, Subulus Salam, al-Muhalla oleh Ibnu Hazm.



Dan perkara yang sangat penting dan tak bisa diabaikan dalam hal ini adalah doa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena doa termasuk sebab yang menolong untuk memahami ilmu. Oleh karena itu, hendaknya seorang insan memohon kepada Allah agar menganugerahkan pemahaman kepadanya.



Jika ada para pengajar wanita (guru/ustadzah) yang mengetahui al-Qur’an dan as-Sunnah, maka berguru kepada mereka merupakan perkara yang baik, karena seorang guru akan mengarahkan penuntut ilmu (murid) dan menjelaskan kepadanya kesalahan-kesalahan yang ada. Terkadang seorang penuntut ilmu menyangka sesuatu itu haq (benar), namun dengan perantaraan seorang guru ia bisa mendapatkan penjelasan bahwa hal itu ternyata salah, sedangkan al-haq (kebenaran) itu menyelisihi apa yang ada dalam prasangkanya.



Tidak menjadi masalah bagi seorang wanita untuk belajar pada seorang syaikh, akan tetapi dengan syarat selama aman dari fitnah dan harus di belakang hijab (ada tabir pemisah), karena selamatnya hati tidak bisa ditandingi dengan sesuatu.



Jangan engkau menganggap sulit urusan menuntut ilmu karena Alhamdulillah menuntut ilmu itu mudah bagi siapa yang Allah Subhanahu wa ta’ala mudahkan, sebagaimana firman-Nya:

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an itu untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? (Al-Qamar: 17)



Dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:



Aku diutus dengan membawa agama yang hanif (lurus) dan mudah.



Akan tetapi, ingatlah bahwa ilmu itu memerlukan ketekunan dan kesungguh-sungguhan sebagaimana dikatakan : Berilah kepada ilmu semua yang ada padamu, maka ilmu itu akan memberimu sebagiannya

.

Juga sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair :

Wahai saudaraku, engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara.

Aku akan beritahukan kepadamu perinciannya.

Kepandaian, ketamakan (dalam mencari ilmu), kesungguhan dan memiliki bekal.

Berteman dengan guru dan masa yang panjang.”



Maksud ucapan sya’ir “bulghah” adalah sesuatu yang bisa dimakan, karena termasuk perkara yang dapat menegakkan badan adalah makanan.



Berhati-hatilah wahai saudariku –semoga Allah menjagamu– dari bersikap taklid (mengikuti tanpa ilmu) dalam masalah-masalah agama, karena sikap taklid itu adalah kebutaan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan akal kepada manusia dan memberi nikmat dengan akal tersebut sehingga manusia unggul dengannya.



Adapun pertanyaanmu “Bagaimana caranya agar seorang wanita bisa menjadi pembahas/peneliti yang kuat (dalam ilmu din)?” Maka jawabnya –semoga Allah menjagamu- : Masalah-masalah ilmu itu beragam dan sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala telah mendatangkan untuk agamanya ini orang-orang yang berkhidmat padanya. Maka mereka memberikan setiap macam ilmu itu haknya, sebagai permisalan:



Jika suatu masalah itu berkaitan dengan hadits, maka hendaknya engkau merujuk kepada kitab-kitab takhrij seperti kitab Nashbur Rayah oleh az-Zaila’i, at-Talkhishul Habir oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani dan kitab-kitabnya Syaikh al-Albani hafidhahullah yang padanya ada takhrij seperti Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah dan Silsilah al-Ahadits ad-Dha’ifah.



Jika masalahnya berkaitan dengan fiqih, maka hendaklah engkau merujuk kepada kitab-kitab yang memang ditulis untuk membahas fiqih, seperti kitab-kitab yang telah aku sebutkan sebelum ini, demikian seterusnya….



Saudariku, semoga Allah menjaga dan memeliharamu…

Sanjunglah Allah ‘Azza wa Jalla karena Dia telah menjadikanmu mengenal bahasa Arab. Aku katakan kepadamu bahwa bahasa Arab saat ini telah banyak mengalami penyimpangan (pembelokan dari bahasa Arab yang fasih) dan telah masuk pada bahasa ini kebengkokan yang memalingkan dari kefasihan. Akan tetapi, masih ada kitab-kitab bahasa Arab yang bisa engkau pelajari dan engkau baca serta engkau pergunakan agar lisan menjadi lurus (fasih dalam berbahasa Arab). Kitab-kitab yang dimaksud adalah kitab-kitab nahwu. Bagi pelajar pemula hendaknya mulai dengan mempelajari kitab Tuhfatus Saniyah, setelah itu kitab Mutammimah al-Ajurumiyah, lalu kitab Qatrun Nada dan Syarhu ibnu ‘Aqil. Dan sepertinya kitab-kitab ini sudah mencukupi bagi penuntut ilmu yang ingin mempelajari ilmu nahwu.



Demikianlah wahai saudariku, jangan lupa untuk menyertakan aku dalam doa kebaikanmu karena doa seseorang untuk saudaranya yang muslim yang jauh dari dirinya itu mustajab (diterima Allah Subhanahu wa ta’ala).



Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.



Ditulis oleh saudarimu fillah



Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyah

Sabtu, 20 Ramadlan 1418 H



(Diterjemahkan oleh Ummu Ishaq Zulfa Husein dari surat aslinya)

Mencatat Faidah: Tips Mudah dalam Mengumpulkan Banyak Ilmu

Mencatat Faidah: Tips Mudah dalam Mengumpulkan Banyak Ilmu


[ Muqaddimah Rubrik Fawaid yang Akan Disampaikan Berseri dalam Web Ini]



A. Muqaddimah



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ



الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ :



Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya (2699) sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda:



وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ



“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”.



Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Menempuh jalan menuntut ilmu memiliki dua makna:



Pertama: Secara hakekat, yaitu melangkahkan kaki untuk menghadiri majlis ilmu

Kedua: Lebih luas, yaitu menempuh berbagai cara yang mengantarkan menuju ilmu seperti menulis, menghafal, mempelajari, mengulangi, memahami dan lain sebagainya.[1]

Di antara cara menimba ilmu yang sangat bermanfaat sekali adalah menghimpun fawaid (faedah) yang kita dengar, lihat, baca dan sebagainya. Nah, rubrik baru ini merupakan suatu contoh bagi saudara-saudara kami yang haus ilmu. Kami berdoa kepada Allah agar memberikan manfaat dan pahala atasnya serta contoh bagi para penuntut ilmu, karena barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya hingga hari kiamat[2].



Namun sebelumnya perlu kiranya kita menjelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan fawaid dan apa manfaatnya?! Inilah yang ingin kita bahas terlebih dahulu pada edisi kali ini. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan kepada ilmu yang bermanfaat, keimanan dan amal shalih. Amin.



B. Defenisi Al-Fawaid



Al-Fawaid diambil dari bahasa Arab الْفَوَائِدُ )) bentuk jama’ (plural) dari kata mufradnya (tunggal) ( ( الْفَائِدَةُyang secara bahasa artinya adalah setiap yang engkau dapatkan berupa ilmu, harta dan sebagainya.[3]



Adapun maksud Al-Fawaid dalam pengertian para penulis kitab adalah sebuah kitab yang menghimpun beberapa masalah yang beraneka macam mutiara ilmu dan hal-hal penting yang diperoleh oleh seorang selama perjalanan panjangnya bersama ilmu, ulama’, kitab, fakta dan sebagainya yang tidak hanya terbatas pada satu bidang tertentu saja, tetapi mencakup banyak bidang ilmu; tafsir, hadits, akhlak, bahasa, syair, tarikh, kisah, fatwa dan lain sebagainya[4].



C. Manfaat Menghimpun Al-Fawaid



Mengetahui buah sebuah bidang ilmu sangatlah bermanfaat sekali, sebab dengan hal itu kita akan terdorong untuk lebih perhatian dan semangat meraihnya. Adapun manfaat menghimpun fawaid sangatlah banyak sekali, diantaranya:



 
 
1. Menjaga dan Mengikat Ilmu




Tulisan sangat penting untuk menjaga ilmu, lebih meresap dalam hafalan, memudahkan kita untuk membaca ulang terutama apabila dibutuhkan, bisa dibawa ke sana-kemari dan lain sebagainya. Betapa seringnya seorang yang menyepelekan sebuah faedah karena mengandalkan hafalannya seraya mengatakan: “Ah, gampang, insyallah saya tidak lupa”, akhirnya dia lupa dan berangan-angan aduhai seandainya dahulu dia menulisnya!!. Oleh karena itu, camkanlah baik-baik nasehat Sya’bi:



“Apabila engkau mendengar sesuatu, maka tulislah sekalipun di tembok”.



Imam Syafi’I juga pernah bertutur:

الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالْكِتَابَةُ قَيْدُهُ قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالْحِبَالِ الْوَاثِقَهْ



فَمِنَ الْحَمَاقَةِ أَنْ تَصِيْدَ غَزَالَةً وَتَتْرُكَهَا بَيْنَ الْخَلاَئِقِ طَالِقَهْ



Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya



Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat



Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang



Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.[5]



 
 
2. Menambah Khazanah Ilmu Pengetahuan




Banyak diantara kita yang telah lama menghadiri majlis taklim dan banyak membaca buku atau majalah, tetapi dia merasa bahwa dia tidak memiliki kekuatan ilmu, padahal seandainya dia mau rajin mencatat masalah-masalah ilmu yang penting dalam sebuah daftar khusus, menyusunnya, kemudian dia sering membacanya berulang-ulang, niscaya dengan izin Allah dia akan merasa bahwa dirinya memiliki bahan yang cukup banyak, baik untuk menyampaikan khutbah, pengajian, tulisan, cerita dan lain sebagainya. Semua ini telah kami coba dan hasilnyapun sangat memuaskan, maka cobalah sendiri wahai saudaraku yang mulia.



وَمَنْ لَمْ يُجَرِّبْ لَيْسَ يَعْرِفْ قَدْرَهُ فَجَرِّبْ تَجِدْ تَصْدِيْقَ مَا ذَكَرْنَاه



Barangsiapa belum mencoba, maka belum tahu hasilnya



Cobalah sendiri, niscaya kamu akan tahu kejujuran ucapan saya.[6]






3. Barang Simpanan Di Masa Tua



Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid berkata:



“Diantara faedah menghimpun fawaid yang paling berharga adalah ketika di saat lanjut usia dan badan telah lemah, dia akan memliki bahan materi yang dapat dia nukil tanpa susah payah harus mencari-cari lagi”.[7]



Sebagai contoh al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan tentang hadits Umar tentang niat:



“Saya telah meneliti jalur riwayat hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang populer dan kitab-kitab kecil semenjak aku menuntut ilmu hadits sampai sekarang, namun saya tidak mendapatkan lebih dari seratus jalur”.[8].



Menarik juga ucapan Syaikh Abdul Muhsin Abbad tentang dirinya:



“Kenanganku yang paling menarik adalah buku-buku kurikulum dan buku tulisku ketika sekolah dulu semenjak ibtidai’yah, mutawassitah, tsanawiyah dan jami’ah, semuanya masih ada dalam lemariku sampai sekarang”.[9]



 
 
 
 
D. Potret Salaf Dalam Menghimpun Al-Fawaid[10]




Apabila anda membaca sejarah para ulama dan bagaimana semangat mereka dalam memanfaatkan waktu dan mencatat faedah, niscaya anda akan terheran-heran!!



لاَ تَعْرِضَنَّ لِذِكْرِنَا بِذِكْرِهِمْ لَيْسَ الصَّحِيْحُ إِذَا مَشَى كَالْمُقْعَدِ



Janganlah kamu bandingkan kami dengan mereka



Orang sehat tidak sama jalannya dengan orang sakit.



Berikut sekelumit contoh kabar tentang mereka:



Imam Bukhari yang digelari sebagai “jabal Hifzh” (hafalannya seperti gunung), beliau bangun berkali-kali dalam satu malam untuk mencatat faedah. Berkata al-Firabri:

“Pada suatu malam, saya pernah bersama Muhammad bin Ismail (Bukhari) di rumahnya, saya menghitung dia bangun dan menyalakan lampu untuk mengingat ilmu dan mencatatnya sebanyak delapan belas kali dalam satu malam”.[11]



Imam Syafi’I (204 H) yang namanya taka asing lagi bagi kita Kawannya al-Humaidi menceritakan bahwa dirinya tatkala di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Syafi’I masih nyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia berkata: Apa semua ini wahai Abu Abdillah (Syafi’i)?! Beliau menjawab: Saya teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka sayapun segara menyalakan lampu dan menulisnya”.[12]

Abul Qashim bin Ward at-Tamimi (540 H). Diceritakan oleh Ibnu Abbar al-Hafizh bahwa beliau tidak mendapatkan sebuah kitabpun kecuali dia menelaah bagian atas dan bawahnya, kalau beliau menjumpai sebuah faedah padanya maka beliau salin di kertas miliknya sehingga terkumpul banyak sekali.[13]

Az-Zarkasyi (794 H). Diceritakan oleh Ibnu Hajar bahwa beliau sering sekali pergi ke pasar buku, kalau dia datang ke sana dia menelaah di toko buku sepanjang siang, dia menulis masalah-masalah yang menarik di sebuah kertas, kemudian apabila dia pulang ke rumah dia salin ke kitab-kitab karyanya.[14]

Para ulama banyak membukukan fawaid mereka dalam kitab tersendiri. Sebut misalnya,

Kitab Al-Funun oleh Ibnu Aqil yang merupakan kitab terbesar dalam masalah ini,

Shaidhul Khathir oleh Ibnul Jauzi,

Qaidul Awabid oleh ad-Daghuli sebanyak empat ratus jilid,

Bada’I Fawaid dan Al-Fawaid oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,

At-Tadzkirah oleh al-Kindi dalam lima puluh jilid,

Majma’ Fawaid wa Manba’ Faraid oleh al-Miqrizi sebanyak seratus jilid,

Tadzkirah Suyuthi sebanyak lima puluh jilid

dan masih banyak lagi lainnya.

 
 
 
 
E. Beberapa Masalah Tentang Al-Fawaid




Untuk melengkapi bahasan ini ada beberapa permasalahan penting yang perlu untuk diperhatikan bersama seputar masalah fawaid sebagai berikut:



1. Jangan Meremehkan Faedah!!



Jangan sekali-kali menganggap sepele sebuah faedah, karena satu faedah diremehkan kemudian diremehkan kemudian diremehkan kalau dikumpulkan maka akan terkumpul banyak sekali.



Imam Nawawi menasehatkan kepada para penuntut ilmu agar mencatat hal-hal berharga yang dia peroleh baik ketika menelaah kitab atau mendengar dari seorang guru:

“Janganlah dia meremehkan suatu faedah yang dia dapatkan atau dengar dalam bidang apapun, tetapi hendaknya dia segera mencatat dan sering berulang-ulang membaca kembali catatannya”.



Beliau juga menasehatkan:



“Janganlah dia menunda untuk mencatat sebuah faedah sekalipun dia menganggapnya mudah, sebab betapa banyak kecacatan dikarenakan menunda, apalagi di waktu lain dia akan mendapatkan ilmu baru lagi”.[15]



Sebuah nasehat yang sangat berharga dari Imam Nawawi, peganglah erat-erat nasehat ini niscaya engkau akan mendapatkan manfaat yang besar. Sungguh, betapa banyak diantara kita yang kecewa dan mengeluh karena dia tidak mencatat ilmu yang dia peroleh atau berpedoman pada hafalannya, tetapi hafalan pun pudar tidak dapat membantunya. Coba bayangkan orang seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar yang dikenal sebagai ulama kondang saja beliau pernah kecewa karena tidak mencatat sebagian faedah dalam bidang tafsir.[16] Lantas bagaimana kiranya dengan kita?!!



 
 
 
 
2. Jangan Sembunyikan Faedah




Terkadang terlontar sebuah permasalahan di sebuah majlis sesama penuntut ilmu atau sesama kawan sendiri, sedangkan engkau tahu jawabannya yang seandainya mereka mendengarnya darimu niscaya akan memperoleh faedah yang cukup banyak. Namun terkadang Syetan membisikkan padamu: “Kalau kamu sampaikan ilmu ini, niscaya mereka akan tahu dan menukilnya kepada manusia tetapi kebaikanmu tidak disebut sama sekali”. Saudaraku, lemparlah jauh-jauh bisikan Syetan ini, sebab orang seperti ini tidak akan berbarokah ilmunya, dan kamu tahu sendiri ancaman bagi orang yang menyembunyikan ilmu. Keluarkanlah faedahmu dengan segera, semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu.[17]



 
 
 
 
3. Sandarkan Kepada Ahlinya




Dahulu dikatakan: “Termasuk keberkahan ilmu engkau menyandarakannya kepada ahlinya”.[18]



إِذَا أَفَادَكَ إِنْسَانٌ بِفَائِدَةٍ مِنَ الْعُلُوْمِ فَأَدْمِنْ شُكْرَهُ أَبَدَا



وَقُلْ فُلاَنٌ جَزَاهُ اللهُ صَالِحَةً أَفَادَنِيْهَا وَأَلْقِ الْكِبْرَ وَالْحَسَدَا



Apabila ada seorang yang memberikan faedah kepadamu



Berupa ilmu maka banyaklah terima kasih padanya selama-lamanya



Katakanlah: Semoga Allah membalas si fulan dengan kebaikan



Karena dia telah memberiku faedah, tinggalkan kesombongan dan kedengkian[19].



Terkadang kita mendapatkan sebuah faedah berharga dari seorang kawan yang telah susah payah mendapatkannya, tetapi setelah itu kita menasabkannya kepada diri kita sendiri tanpa mengingat jerih payah saudara kita. Jangan, sekali-kali jangan, hindarilah perangai jelek ini. Hargailah jasa orang lain padamu, semoga Allah memberkahi ilmumu.



 
 
4. Jangan Lupa Muraja’ah




Apabila anda telah memiliki buku yang menghimpun masalah-masalah penting ini, maka seringlah anda membacanya berkali-kali, baik dengan diajarkan kepada orang lain secara lisan maupun tulisan, atau sekedar dibaca sendiri karena ilmu apabila tidak sering diulang-ulang maka lambat laun akan pudar dari ingatan. Diceritakan oleh Ibnul Jauzi bahwa ada seorang alim yang mengulang-ngulang pelajaran di rumahnya berkali-kali.



Seorang nenek tua akhirnya berkomentar: “Demi Allah, aku telah menghafalnya”.



Sang alimpun menyuruh nenek tadi supaya mengulanginya dan diapun dapat mengulanginya.



Setelah beberapa hari kemudian, sang alim berkata kepada nenek tadi: “Nek, coba ulangi pelajaran waktu itu”.



Si nenek menjawab: “Kalau sekarang ya saya sudah lupa”.



Si alim berkata: “Saya selalu mengulang hafalanku berkali-kali agar supaya tidak menimpaku apa yang telah menimpamu”.[20]



 
 
F. Akhirul Kalam




Saudaraku, perjalanan menimba ilmu begitu panjang sekali sebagaimana kata Nabi:



مَنْهُوْمَانِ لاَ يَشْبَعَانِ : طَالِبُ عِلْمٍ وَ طَالِبُ دُنْيَا



Dua orang yang bergairah tidak pernah kenyang; penuntut ilmu dan pemburu dunia.[21]



Sebagain ulama mengatakan:



“Penuntut ilmu hadits bersama tinta hingga ke liang kuburan”.



Pernah dikatakan kepada Imam Ibnu Mubarak:



“Seandainya saja engkau dihidupakan kembali setelah mati, apa yang ingin kamu lakukan? Beliau menjawab: Aku akan menuntut ilmu hingga malaikat maut mencabut nyawa untuk kedua kalinya”.



Oleh karena itu, bersemangatlah wahai saudaraku -semoga Allah menjagamu- untuk menambah bekal ilmu dan jangan pernah sekali-kali meninggalkan ilmu.[22] Wallahu A’lam.



 
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
 
www.abiubaidah.com
 
CATATAN KAKI:

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Risalah Waratsah Anbiya’ Syarh Hadits Abi Darda’ hal. 12.



[2] Al-Muntaqa Min Faraid Fawaid hal. 3 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.



[3] Ash-Shihah oleh Al-Jauhari 2/521.



[4] Muqaddimah Fawaid Al-Fawaid Ali Hasan al-Halabi hal. 7



[5] Diwan Syafi’I hal. 103



[6] Mandzumah ash-Shan’ani fil Hajj hal. 83



[7] Hilyah Thalib Ilmi hal. 261 -Syarh Ibnu Utsaimin.



[8] Fathul Bari 1/15.



[9] Akhir kitab Ar-Radd Ala Man Kadzdzaba Ahadits Shahihah Anil Mahdi.



[10] Lihat Al-Musyawwiq Ila Qira’ah wa Thalabi Ilmi oleh Ali bin Muhammad al-Imran hal. 121-122



[11] Siyar A’lam Nubala’ 12/404.



[12] Adab Syafi’I wa Manaqibuhu Ibnu Abi Hatim hal. 44-45.



[13] Mu’jam Ashhabi ash-Shadafhi hal. 25



[14] Ad-Durar Al-Kaminah 3/397-398.



[15] Al-Majmu’ 1/38-39.



[16] Al-Jawahir wa Ad-Durar ash-Sakhawi 2/611.



[17] Ma’alim fi Thalabi Ilmi Abdul Aziz as-Sadhan hal. 290.



[18] Bustanul Arifin hal. 29, an-Nawawi



[19] Dzail Thabaqat Hanabilah Ibnu Rajab2/87



[20] Al-Hatstsu Ala Hifdzi Kitab hal. 21



[21] Shahih Jami’ 5/374.



[22] Ma’alim fi Thalabi Ilmi Abdul Aziz as-Sadhan hal. 322.


Jazakillahu khairon katsiran....Ukhty Desta Kamalia & zaujinya atas foto-foto Lombok.....
.

10 FAIDAH TENTANG ILMU

FAIDAH I:


KEUTAMAAN ILMU



Sesungguhnya Allah menjadikan buruan yang ditangkap oleh anjing yang bodoh sebagai bangkai yang haram dimakan, sebaliknya Allah menghalalkan buruan yang ditangkap oleh anjing yang berilmu. Hal ini menunjukkan tentang keutamaan ilmu. Allah berfirman, yang artinya:

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.[1]



Seandainya bukan karena kemuliaan ilmu, niscaya buruan hasil anjing bodoh dan pintar sama hukumnya”.[2]



.FAIDAH II:


ILMU YANG BERMANFAAT



Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali berkata [3]

“Ilmu bermanfaat adalah mempelajari Al-Qur’an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Demikian juga dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan lain sebagainya.



Pertama: Dia berusaha terlebih dahulu memilah antara hadits shahih dan lemah.



Kedua: Dia berusaha memahami makna kandungannya. Sungguh, pada semua itu terdapat kecukupan bagi orang yang berakal dan kesibukan bagi orang yang ingin mendapatkan ilmu bermanfaat.



Barangsiapa mengikhlaskan hatinya untuk mengharap wajah Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, niscaya Dia akan menolongnya, menunjukinya, memudahkannya, dan memahamkannya. Pada saat itulah, ilmu ini akan membuahkan buahnya yang terpenting yaitu Khsyatullah (takut kepada Allah), sebagaimana firman Allah:



Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, hanyalah ulama.[4]



FAIDAH III:


BUAH ILMU



عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ



Dari Jundub bin Abdillah berkata: Rasulullah bersabda: “Perumpamaan seorang berilmu yang mengajarkan kebaikan kepada manusia tetapi melupakan dirinya seperti lampu yang menyinari manusia tetapi membakar dirinya sendiri”.[5]



FAIDAH IV:

KUTU BUKU



Kebiasaan Imam Zuhri kalau masuk rumah, maka beliau meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di sekitarnya. Beliau menikmati kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala urusan dunia lainnya. Suatu saat isterinya pernah berkata padanya: “Demi Allah, sungguh kitab-kitab ini lebih berat bagiku daripada tiga isteri sainganku!!!”.[6]

Ibnu Qayyim berkata: “Guru kami (Ibnu Taimiyyah) pernah bercerita padaku: “Ketika sakit menimpaku, seorang dokter berkata padaku: Sesungguhnya bacaanmu dan pembicaraanmu tentang ilmu akan menambah sakitmu”.

Aku menjawab: Saya tidak bisa sabar menahan hal itu. Sekarang jawablah pertanyaanku berdasarkan ilmu pengetahuanmu: Bukankah hati apabila senang dan kuat maka akan mampu mengusir penyakit?



Jawab sang dokter: Ya, benar.



Aku berkata lagi: Demikian pula hatiku, dia sangat senang dengan ilmu dan aku merasakan kegembiraan dengannya.



Dokter menjawab: “Ini keluar dari cara pengobatan kami…”. [7]


FAIDAH V:


KESABARAN



Kesabaran saat menuntut ilmu sangat diperlukan. Coba perhatikan ucapan Imam Ahmad: “Aku terus mempelajari permasalahan darah haidh selama sembilan tahun sehingga aku memahaminya”.[8]

Perangilah penyakit malas bila menghampirimu dan latihlah dirimu agar terbiasa dalam ilmu. Ikrimah berkata:

“Ibnu Abbas mengikat kakiku dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadits”. [9]



Sungguh benar ucapan seorang penyair:

النَّفْسُ كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ



Jiwa itu seperti anak bayi, kalau kau biarkan



Maka dia akan suka menyusu



Dan bila engkau menyapihnya diapun akan berhenti.


FAIDAH VI:


CINTA POPULARITAS



Ibnu Jama’ah al-Jinani berkata:

“Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak hanya mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja, karena hal itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan kebodohan. Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin, dia akan mengambilnya dimanapun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya. Demikian pula seorang penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan sebagaimana dia lari dari singa. Dan orang yang lari dari singa, dia tidak akan peduli siapapun orangnya yang menunjukkan jalan keluar kepadanya”.[10]





FAIDAH VI:


SEMANGAT PARA WANITA



عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ: قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ : غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ, فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ, فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ : مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةٌ مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ : وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ : وَاثْنَيْنِ.



Dari Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa sejumlah para wanita berkata kepada Nabi: “Kaum lelaki lebih banyak bergaul denganmu daripada kami, maka jadikanlah suatu hari untuk kami”. Nabi menjanjikan mereka suatu hari untuk bertemu dengan mereka guna menasehati dan memerintah mereka. Diantara sabda beliau saat itu: “Tidak ada seorang wanitapun yang ditinggal mati oleh tiga anaknya kecuali akan menjadi penghalang baginya dari neraka”. Seorang wanita bertanya: “Bagaimana kalau Cuma dua?”. Nabi menjawab: “Sekalipun Cuma dua”[11]


Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:

“Hadits ini menunjukkan semangat para wanita sahabat dalam mempelajari masalah-masalah agama”.[12]


FAIDAH VIII:


MURID DURHAKA



.
Ma’an bin Aus memiliki sebuah syair indah yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi setiap penuntut ilmu. Syairnya sebagai berikut:

.



فَيَا عَجَبًا لِمَنْ رَبَّيْتُ طِفْلاً أُلَقِّمُهُ بِأَطْرَافِ الْبَنَانِ



أُعَلِّمُهُ الرِّمَايَةَ كُلَّ يَوْمٍ فَلَمَّا اسْتَدَّ سَاعِدُهُ رَمَانِي



أُعَلِّمُهُ الْفُتُوَّةَ كُلَّ وَقْتٍ فَلَمَّا طَرَّ شَارِبُهُ جَفَانِي



وَكَمْ عَلَّمْتُهُ نَظْمَ الْقَوَافِيْ فَلَمَّا قَالَ قَافِيَةً هَجَانِي



Sungguh mengherankan, orang yang kudidik semenjak kecil



Aku menyuapinya dengan jari tanganku



Aku mengajarinya memanah setiap hari



Setelah pandai, dia malah memanahku



Aku mengajarkannya bermurah hati setiap waktu



Setelah tumbuh kumisnya, dia malah berbuat kasar padaku



Betapa seringnya aku mengajarinya syair



Setelah bisa membuat satu syair, dia malah mencaciku[13].




FAIDAH IX:


JANGAN BERFATWA TANPA ILMU



Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak malu untuk mengatakan tentang suatu permasalahan yang tidak diketahuinya: “Saya tidak tahu”. Sungguh, hal itu sama sekali tidak mengurangi derajat mereka, bahkan meninggikan mereka. Ditambah lagi, bahwa hal itu memiliki beberapa faedah berikut:

Dia menunaikan kewajibannya.

Dia akan segera mencari jawabannya baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, sebab seorang murid tatkala mendapati gurunya belum mengetahui jawabannya, dia akan bersungguh-sungguh untuk mencari jawabannya lalu menghadiahkan jawabannya tersebut kepada gurunya.

Hal itu menunjukkan kehati-hatiannya dalam menjawab permasalahan.

Sebagai pelajaran dan contoh bagi para muridnya. [14]


FAIDAH X:


KIAT UNTUK SEMANGAT



Soal: Terkadang kita perhatikan pada sebagian penuntut ilmu kurangnya semangat dalam menimba ilmu. Apakah kiat-kiat yang dapat menyembulkan semangat menuntut ilmu?



Jawab: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:



“Kurangnya semangat dalam menuntut ilmu syar’I merupakan salah satu musibah besar. Ada beberapa kiat yang dapat mengobatinya, diantaranya:



Pertama: Ikhlas karena Allah dalam menuntut ilmu. Seorang apabila memurnikan niatnya hanya untuk Allah dalam menuntut ilmu dan menyadari bahwa dirinya mendapat pahala dalam amalan tersebut niscaya dia akan bersemangat.

Kedua: Berteman dengan teman-teman yang memberinya motivasi dalam menuntut ilmu dan membantunya dalam dialog serta membahas permasalahan.

Ketiga: Melatih dirinya untuk sabar dan membiasakan diri dalam menuntut ilmu. Adapun jika dia melepas dirinya tanpa kendali maka dirinya akan mengajaknya kepada perbuatan jelek dan Syetan akan mengajaknya untuk malas dalam menuntut ilmu”. [15]

.



Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi



www.abiubaidah.com




--------------------------------------------------------------------------------


[1] QS. Al-Maidah: 4.



[2] Miftah Dar Sa’adah Ibnu Qayyim 1/236



[3] Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf (hal. 26).



[4] QS. Fathir: 28.



[5] HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 1/84/2, al-Khathib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ Ilmu Amal 70 dan dishahihkan al-Albani dalam Tahqiqnya.



[6] Wafayatul A’yan Ibnu Khallikan 4/177-178.



[7] Raudhatul Muhibbin hal. 70.



[8] Thabaqat Hanabilah Ibnu Abi Ya’la 1/268.



[9] Siyar A’lam Nubala adz-Dzahabi 5/14.



[10] Tadzkirah Sami’ fi Adabil Alim wal Muta’allim hal. 87.



[11] HR. Bukhari 101.



[12] Fathul Bari 1/259.



[13] Majma’ al-Amtsal al-Maidani 2/200. Bait kedua terdapat dalam al-Iqdu al-Farid Ibnu Abdi Rabbihi 3/56 dan Adab Dunya wa ad-Diin al-Mawardi hal. 77. (Dari al-Masu’ah asy-Syi’riyyah DR. Badr bin Abdullah an-Nashir 124-125).



[14] Lihat al-Fatawa as-Sa’diyyah Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di hal. 628-629.



[15] Kitab Ilmu hal. 105.



Jazakillahu khairon katsiran Ukhty DesTa Kamalia & zaujinya......atas foto-foto Lombok....

.